versi Sulistiono
Kertawacana
Menjelang pertengahan
Juni lalu, Perdana Menteri Inggris Tony Blair dan Presiden Amerika Serikat
George Walker Bush menyepakati untuk menghapus 100 persen utang negara-negara
miskin di benua Afrika. Bagaimana dengan Indoensia? Apakah Indonesia berpeluang
mendapatkan penghapusan utang atau perlukah Indonesia mengajukan permohonan
penghapusan utang?
Alasan Penghapusan
Utang
Dalam sejarah utang
luar negeri, penghapusan utang (sebagaian atau seluruhnya) terjadi karena
alasan hukum atau ekonomi. Alasan ekonomi terkait dengan keberlanjutan ekonomi
negara debitor. Sedangkan alasan hukum terkait dengan legitimasi suatu rezim
atau penyalahgunaan dana pinjaman
Alasan hukum memandang
utang sebagai odious debt (utang najis) atau criminal debt (utang kriminal).
Leonce Ndikumana dan James K Boyce (1998) membedakan definisi keduanya.
Utang najis adalah
pinjaman yang dilakukan oleh rezim yang tidak sah dalam perspektif demokrasi,
yakni tidak representative, otoriter, diktator, dan opresif yang digunakan
untuk menindas rakyatnya.
Utang kriminal adalah
bagian dari dana pinjaman kepada negara yang telah dikorup oleh pejabat
pemerintah dan/atau kroninya. Karenanya, tidaklah adil jika seluruh utang
tersebut harus dibayar oleh rakyat negara debitor.
Tujuannya, kreditor
tidak mengucurkan pinjaman sekedar memandang resiko ekonomi (kemampuan
mengembalikan utang). Sebab, jika utang terkategori utang najis atau utang
kriminal, maka ada resiko tidak dibayar (seluruhnya).
Menurut catatan Komisi
Hukum Internasional (1977), doktrin utang najis pertama dikenal ketika tahun
1898 AS menolak membayar utang-utang Cuba dalam perundingan Perang
Amerika-Spanyol. AS mengklaim baik AS maupun Cuba tidak bertanggung jawab atas
utang Cuba dengan alasan –diantaranya- utang dihimpun semasa Cuba dalam
kolonial dan tidak memberi benefit bagi orang Cuba. Soviet juga tidak mengakui
utang yang telah dihimpun Tsar pada tahun 1921 dengan alasan yang serupa.
Tahun 1923 Costa Rica
menganggap utang yang dihimpun rezim Frederico Tinoco kepada the Royal Bank of
Canada adalah utang najis. Kasus ini akhirnya masuk dalam arbitrase Inggris
Raya vs Costa Rica.
Hakim ketua dari AS,
Taft menetapkannya sebagai utang yang tidak sah (memenangkan Costa Rica).
Alasannya, Bank telah mengetahui utang digunakan mantan presiden F. Tinoco
untuk kepentingan pribadi ketika berada dalam pengasingan di luar negeri
(Annual Digest of Public International Law Cases, 1923).
Alasan penghapusan
utang dengan alasan ekonomi pertama dilakukan Jerman setelah Perang Dunia II.
Kewajiban Jerman terhadap kreditor ketika itu DM 1,5 milyar per tahun. Jumlah
ini memberatkan. Dikhawatirkan ekonominya akan kacau (jika tetap dibayar) yang
berakibat chaos yang memicu munculnya pemimpin model Hitler dengan Nazi-nya.
Juru runding Jerman
–Josef Abs- berhasil meyakinkan para kreditor sehingga Jerman membayar utangnya
dalam rasio yang sehat terhadap neraca perdagangan luar negerinya. Perundingan
yang diselenggarakan di London pada 27 Februari 1952 tersebut sepakat menghapus
utang luar negeri nomial Jerman sebanyak 51,5% (Ivan A Hadar, 2004).
Kedua, saat global debt
problem, tahun 1982 Mexico menyatakan diri “pailit” dan tidak mampu melunasi
kewajiban membayar utang pokok dan bunga utang swasta yang diterimanya. Langkah
ini kemudian banyak ditiru negara Amerika Latin lainnya. Kalangan internasional
pun urun rembug membantunya.
Model Bank Dunia
Dalam sejarahnya, Bank
Dunia memiliki beberapa model untuk bisa mengurangi utang negara debitor. Yaitu
Brady Plan, Toronto Term, Naples Term, dan High Indebted Poor Countries
Initiatives (Pakarsa HIPC). Semuanya mensyaratkan negara debitor menjalankan
Structural Adjustment Program oleh IMF.
Brady Plan digagas
Menkeu AS Nicholas Brady ketika berusaha menanggulangi kemelut utang luar
negeri (ULN) Mexico. Syarat negara memperoleh penghapusan utang jika 3 dari 4
kondisi dipenuhi. Yakni (i) rasio ULN terhadap Gross National Product (GNP)
lebih dari 50%, (ii) rasio ULN terhadap ekspor lebih dari 275%, (iii) rasio
peningkatan utang terhadap ekspor lebih dari 30%, dan/atau (iv) rasio
peningkatan suku bunga terhadap ekspor lebih dari 25%.
Toronto terms diberikan
kepada negara debitor dengan kriteria GNP perkapita kurang dari US$ 610 (pada
tahun 1990) atau yang mengalami problem utang yang terus menerus dan memiliki
propspek neraca pembayaran yang buruk.
Naples terms diberikan
kepada negara debitor dengan kriteria GNP perkapita kurang dari US$ 500 atau
(ii) rasio net present value ULN terhadap ekspor lebih dari 350%. Jika kriteria
pertama tidak terpenuhi, pengurangan utang yang lebih sedikit masih mungkin
diberikan.
Prakarsa HIPC diberikan
bagi negara debitor dalam kondisi pada Naples term yang diberikan oleh International
Development Association. Debitor dianggap masih sustainable jika rasio net
present value ULN terhadap ekspornya 200-250% dan rasio external debt service
terhadap ekpsornya dalam rentang 20-25%.
Sesungguhnya usulan
pengahpusan utang miskin tidaklah baru sudah lama didengungkan. Petisi Jubile
di tahun 2000 ditandatangani sekitar 120 negara dan didukung -diantaranya- Kofi
Annan, Tony Blair, Nelson Mandela, dan Gerhard Schroeder mengkampanyekan
penghapusan utang bagi negara miskin. Menurutnya, setiap Poundsterling yang
negara kreditor kirim sebagai bantuan, mengharuskan negara debitor membayar 9
Poundsterling.
Kasus Indonesia
Dalam laporannya tahun
1997 yang bertajuk Summary of RSI Staff Views Regarding the Problem of
‘Leakage’ Bank Project Budgets, Bank Dunia memperkirakan minimal 20%-30% dana
anggaran pembangunan Indonesia diselewengkan. Tak terkecuali proyek Bank Dunia.
Laporan internal Bank
Dunia “Dice Memorandum” merinci kebocorannya, yaitu di bawah 15% di Departemen
Kesehatan dan Departemen Pertambangan dan Energi, 15%-25% di 8 departemen
(diantaranya pertanian, pendidikan, pekerjaan umum, dan agama), lebih dari 25%
di 4 departemen (diantaranya kehutanan dan dalam negeri).
Pasal 3 ayat 5 (b)
Anggaran Dasar (Articles of Agreement) Bank Dunia (IBRD) mengatur Bank Dunia
akan membuat aturan untuk dapat memastikan bahwa dana pinjaman hanya akan
digunakan untuk tujuan yang telah disepakati, dengan memberikan perhatian yang
layak pada pertimbangan ekonomi dan efisiensi, tanpa terpengaruh oleh
pertimbangan politis dan non ekonomis lainnya.
Karenanya, Bank Dunia
harus melakukan tindakan yang memadai untuk mencegah terjadinya kebocoran dana
yang dipinjamkannya kepada Indonesia. Apalagi Indonesia memiliki peringkat
Index Persepsi Korupsi teratas sebagai negara terkorup di dunia.
Tapi selama ini Bank
Dunia (khususnya selama rezim Soeharto) seolah menutup mata atas kebocoran
20-30% pinjamannya kepada Indonesia sebagaimana yang telah diakuinya dalam
berbagai laporan Bank Dunia yang dirinci Dice Memorandum tersebut. Bank Dunia
baru menampakkan penanggulangan korupsi dana pinjaman sejak tahun 1997
sebagaimana tercatat dalam laporannya Helping Countries Combat Corruption: The
Role of the World Bank.
Namun demikian,
berdasarkan laporan General Accounting Office (lembaga yang diminta Kongres AS
melakukan penyelidikan korupsi pada Bank Dunia) pada April 2000 berjudul
Management Controls Stronger, but Challenges in Fighting Corruption Remain
menyimpulkan Bank Dunia dan negara debitor tak selalu bertindak sesuai prosedur
untuk auditing proyek serta pengawasannya atas manajemen keuangan dan proses
pengucuran pinjaman.
Kebocoran utang Bank
Dunia merupakan utang kriminal yang mungkin bisa dijadikan alasan hukum
pemohonan penghapusan utang bagi Indonesia. Berdasarkan pasal 10 ayat 10 angka
3 huruf C General Conditions Applicable to Loan and Guarantee Agreement
dinyatakan Bank Dunia membuka kemungkinan bagi Mahkamah Internasional dan PBB
berperan dalam sengketa antara Bank Dunia dengan kliennya (negara debitor-pen).
Saat ini juga APBN
Indonesia masih compang-camping dan terjerat oleh utang dengan mengabaikan
sektor pendidkan dan pelayanan kesehatan (saat ini UU APBN dan UU Sitem
Pendidkan Nasional sedang diuji materiil pada Mahkamah Konstitusi). Padahal dua
hal itu sangat penting untuk keberlangsungan pembangunan manusia Indonesia.
Karenanya, selain upaya internal diperlukan juga upaya eksternal.
Sayangnya hingga saat
ini belum ada gugatan hukum oleh negara debitor sendiri maupun LSM yang
memiliki legal standing melalui gugatan perwakilan . Sudah saatnya kita
menggunakan instrument hukum dalam pendekatan penghapusan utang. Apakah
Indonesia akan menjadi pelopor dan preseden pola penghapusan utang? Ayo kita
coba!!!
Versi Harian Suara
Karya 25 Juli 2005
Menjelang pertengahan
Juni lalu, Perdana Menteri Inggris Tony Blair dan Presiden Amerika Serikat
George Walker Bush menyepakati untuk menghapus 100 persen utang negara-negara
miskin di benua Afrika. Bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia berpeluang
mendapatkan penghapusan utang atau perlukah Indonesia mengajukan permohonan
penghapusan utang?
Alasan Penghapusan
Utang
Dalam sejarah utang
luar negeri, penghapusan utang (sebagaian atau seluruhnya) terjadi karena
alasan hukum atau ekonomi. Alasan ekonomi terkait dengan keberlanjutan ekonomi
negara debitor. Sedangkan alasan hukum terkait dengan legitimasi suatu rezim
atau penyalahgunaan dana pinjaman
Alasan hukum memandang
utang sebagai odious debt (utang najis) atau criminal debt (utang kriminal).
Leonce Ndikumana dan James K Boyce (1998) membedakan definisi keduanya.
Utang najis adalah
pinjaman yang dilakukan oleh rezim yang tidak sah dalam perspektif demokrasi, yakni
tidak representative, otoriter, diktator, dan opresif yang digunakan untuk
menindas rakyatnya.
Utang kriminal adalah
bagian dari dana pinjaman kepada negara yang telah dikorup oleh pejabat
pemerintah dan/atau kroninya. Karenanya, tidaklah adil jika seluruh utang
tersebut harus dibayar oleh rakyat negara debitor.
Tujuannya, kreditor
tidak mengucurkan pinjaman sekedar memandang resiko ekonomi (kemampuan
mengembalikan utang). Sebab, jika utang terkategori utang najis atau utang
kriminal, maka ada resiko tidak dibayar (seluruhnya).
Menurut catatan Komisi
Hukum Internasional (1977), doktrin utang najis pertama dikenal ketika tahun
1898 AS menolak membayar utang-utang Cuba dalam perundingan Perang
Amerika-Spanyol. AS mengklaim baik AS maupun Cuba tidak bertanggung jawab atas
utang Cuba dengan alasan –diantaranya- utang dihimpun semasa Cuba dalam
kolonial dan tidak memberi benefit bagi orang Cuba. Soviet juga tidak mengakui
utang yang telah dihimpun Tsar pada tahun 1921 dengan alasan yang serupa.
Tahun 1923 Costa Rica
menganggap utang yang dihimpun rezim Frederico Tinoco kepada the Royal Bank of
Canada adalah utang najis. Kasus ini akhirnya masuk dalam arbitrase Inggris
Raya vs Costa Rica.
Hakim ketua dari AS,
Taft menetapkannya sebagai utang yang tidak sah (memenangkan Costa Rica).
Alasannya, Bank telah mengetahui utang digunakan mantan presiden F. Tinoco
untuk kepentingan pribadi ketika berada dalam pengasingan di luar negeri
(Annual Digest of Public International Law Cases, 1923).
Alasan penghapusan
utang dengan alasan ekonomi pertama dilakukan Jerman setelah Perang Dunia II.
Kewajiban Jerman terhadap kreditor ketika itu DM 1,5 milyar per tahun. Jumlah
ini memberatkan. Dikhawatirkan ekonominya akan kacau (jika tetap dibayar) yang
berakibat chaos yang memicu munculnya pemimpin model Hitler dengan Nazi-nya.
Juru runding Jerman
–Josef Abs- berhasil meyakinkan para kreditor sehingga Jerman membayar utangnya
dalam rasio yang sehat terhadap neraca perdagangan luar negerinya. Perundingan
yang diselenggarakan di London pada 27 Februari 1952 tersebut sepakat menghapus
utang luar negeri nominal Jerman sebanyak 51,5% (Ivan A Hadar, 2004).
Kedua, saat global debt
problem, tahun 1982 Mexico menyatakan diri “pailit” dan tidak mampu melunasi
kewajiban membayar utang pokok dan bunga utang swasta yang diterimanya. Langkah
ini kemudian banyak ditiru negara Amerika Latin lainnya. Kalangan internasional
pun urun rembug membantunya.
Model Bank Dunia
Dalam sejarahnya, Bank
Dunia memiliki beberapa model untuk bisa mengurangi utang negara debitor. Yaitu
Brady Plan, Toronto Term, Naples Term, dan High Indebted Poor Countries
Initiatives (Pakarsa HIPC). Semuanya mensyaratkan negara debitor menjalankan
Structural Adjustment Program oleh IMF.
Brady Plan digagas
Menkeu AS Nicholas Brady ketika berusaha menanggulangi kemelut utang luar
negeri (ULN) Mexico. Syarat negara memperoleh penghapusan utang jika 3 dari 4
kondisi dipenuhi. Yakni (i) rasio ULN terhadap Gross National Product (GNP)
lebih dari 50%, (ii) rasio ULN terhadap ekspor lebih dari 275%, (iii) rasio
peningkatan utang terhadap ekspor lebih dari 30%, dan/atau (iv) rasio
peningkatan suku bunga terhadap ekspor lebih dari 25%.
Toronto terms diberikan
kepada negara debitor dengan kriteria GNP perkapita kurang dari US$ 610 (pada
tahun 1990) atau yang mengalami problem utang yang terus menerus dan memiliki
prospek neraca pembayaran yang buruk.
Naples terms diberikan
kepada negara debitor dengan kriteria GNP perkapita kurang dari US$ 500 atau
(ii) rasio net present value ULN terhadap ekspor lebih dari 350%. Jika kriteria
pertama tidak terpenuhi, pengurangan utang yang lebih sedikit masih mungkin
diberikan.
Prakarsa HIPC diberikan
bagi negara debitor dalam kondisi pada Naples term yang diberikan oleh
International Development Association. Debitor dianggap masih sustainable jika
rasio net present value ULN terhadap ekspornya 200-250% dan rasio external debt
service terhadap ekpsornya dalam rentang 20-25%.
Sesungguhnya usulan
pengahpusan utang miskin tidaklah baru sudah lama didengungkan. Petisi Jubile
di tahun 2000 ditandatangani sekitar 120 negara dan didukung -diantaranya- Kofi
Annan, Tony Blair, Nelson Mandela, dan Gerhard Schroeder mengkampanyekan
penghapusan utang bagi negara miskin. Menurutnya, setiap Poundsterling yang
negara kreditor kirim sebagai bantuan, mengharuskan negara debitor membayar 9
Poundsterling.
Kasus Indonesia
Dalam laporannya tahun
1997 yang bertajuk Summary of RSI Staff Views Regarding the Problem of
‘Leakage’ Bank Project Budgets, Bank Dunia memperkirakan minimal 20%-30% dana
anggaran pembangunan Indonesia diselewengkan. Tak terkecuali proyek Bank Dunia.
Laporan internal Bank
Dunia “Dice Memorandum” merinci kebocorannya, yaitu di bawah 15% di Departemen
Kesehatan dan Departemen Pertambangan dan Energi, 15%-25% di 8 departemen
(diantaranya pertanian, pendidikan, pekerjaan umum, dan agama), lebih dari 25%
di 4 departemen (diantaranya kehutanan dan dalam negeri).
Pasal 3 ayat 5 (b)
Anggaran Dasar (Articles of Agreement) Bank Dunia (IBRD) mengatur Bank Dunia
akan membuat aturan untuk dapat memastikan bahwa dana pinjaman hanya akan
digunakan untuk tujuan yang telah disepakati, dengan memberikan perhatian yang
layak pada pertimbangan ekonomi dan efisiensi, tanpa terpengaruh oleh
pertimbangan politis dan non ekonomis lainnya.
Karenanya, Bank Dunia
harus melakukan tindakan yang memadai untuk mencegah terjadinya kebocoran dana
yang dipinjamkannya kepada Indonesia. Apalagi Indonesia memiliki peringkat
Index Persepsi Korupsi teratas sebagai negara terkorup di dunia.
Tapi selama ini Bank
Dunia (khususnya selama rezim Soeharto) seolah menutup mata atas kebocoran
20-30% pinjamannya kepada Indonesia sebagaimana yang telah diakuinya dalam
berbagai laporan Bank Dunia yang dirinci Dice Memorandum tersebut. Bank Dunia
baru menampakkan penanggulangan korupsi dana pinjaman sejak tahun 1997
sebagaimana tercatat dalam laporannya Helping Countries Combat Corruption: The
Role of the World Bank.
Namun demikian,
berdasarkan laporan General Accounting Office (lembaga yang diminta Kongres AS
melakukan penyelidikan korupsi pada Bank Dunia) pada April 2000 berjudul
Management Controls Stronger, but Challenges in Fighting Corruption Remain
menyimpulkan Bank Dunia dan negara debitor tak selalu bertindak sesuai prosedur
untuk auditing proyek serta pengawasannya atas manajemen keuangan dan proses
pengucuran pinjaman.
Kebocoran utang Bank
Dunia merupakan utang kriminal yang mungkin bisa dijadikan alasan hukum
pemohonan penghapusan utang bagi Indonesia. Berdasarkan pasal 10 ayat 10 angka
3 huruf C General Conditions Applicable to Loan and Guarantee Agreement
dinyatakan Bank Dunia membuka kemungkinan bagi Mahkamah Internasional dan PBB
berperan dalam sengketa antara Bank Dunia dengan kliennya (negara debitor-pen).
Saat ini juga APBN
Indonesia masih compang-camping dan terjerat oleh utang dengan mengabaikan
sektor pendidkan dan pelayanan kesehatan (saat ini UU APBN dan UU Sitem
Pendidkan Nasional sedang diuji materiil pada Mahkamah Konstitusi). Padahal dua
hal itu sangat penting untuk keberlangsungan pembangunan manusia Indonesia.
Karenanya, selain upaya internal diperlukan juga upaya eksternal.
Sayangnya hingga saat
ini belum ada gugatan hukum oleh negara debitor sendiri maupun LSM yang
memiliki legal standing melalui gugatan perwakilan. Sudah saatnya kita
menggunakan instrument hukum dalam pendekatan penghapusan utang. Apakah
Indonesia akan menjadi pelopor dan preseden pola penghapusan utang? Ayo kita
coba!!!
“Gila…sungguh- sungguh
gila…!!!”
Tim Indonesia Bangkit
(TIB) mencatat utang Indonesia dalam 5 tahun terakhir justru mengalami
peningkatan sebesar 31 persen menjadi Rp 1.667 triliun. Utang sebesar ini
merupakan utang terbesar Indonesia sepanjang sejarah.
Demikian disampaikan
Ketua Tim Indonesia Bangkit, Rizal Ramli dalam Jumpa Pers di Hotel Bumi Karsa,
Jakarta, Selasa (1/4/2009).
Ia menjelaskan, dalam
lima tahun terakhir jumlah utang Indonesia meningkat sebesar 31 persen dari Rp
1.275 triliun pada Desember 2003 menjadi Rp 1.667 triliun pada bulan Januari
2009 atau naik kurang lebih sebesar Rp 392 triliun.
“Itu menempatkan
Indonesia pada “rekor utang terbesar sepanjang sejarah,” tegasnya.
Sementara itu, Rizal
juga mengatakan jumlah utang per kapita Indonesia pun meningkat. Jika pada 2004
utang per kapita Indonesia sekitar Rp 5,8 jutan per kepala, maka pada Februari
2009 melonjak jadi Rp 7,7 juta per kepala.
“Kan aneh, data TIB
menunjukkan utang naik, kok berani-beraninya pemerintah bikin iklan utang
turun,” katanya.
Indonesia Percuma
Datang Ke G-20.
Tim Indonesia Bangkit
(TIB) juga menilai kedatangan Indonesia di G-20 bisa sia-sia jika tidak membawa
kepentingan ekonomi khusus bagi Indonesia sendiri.
“Percuma saja jika
Indonesia di G-20 tidak membawa sebuah agenda khusus yang mengutamakan
perekonomian di Indonesia, semua akan sia-sia,” ujar ekonom TIB Hendry Saparini
dalam kesempatan yang sama.
Menurut Hendry, jika
kehadiran Indonesia hanya memperkuat peran IMF dan Bank Dunia serta membuka
lebar pintu perdagangan bebas maka sama saja hal itu akan merugikan Indonesia
karena dampak dari perdagangan bebas tersebut akan menjatuhkan industri lokal
karena pasar akan dibanjiri oleh produk impor.
“Rugi bila kita tidak
membawa suatu agenda yang tidak membahas kepentingan ekonomi kita, namun hanya
mengurusi IMF dan Bank Dunia,” jelasnya.
“Kita jangan mau
dibodoh-bodohi. Selama ini negara-negara maju tidak pernah membuka luas pintu
perdagangan bebas. Kalau Indonesia tidak berani memperjuangkan kepentingan
ekonominya ya percuma aja berada di sana,” tuturnya.
(hanzcoudet)
sumber :
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/05/07/penghapusan-utang-indonesia/
http://sulistionokertawacana.blogspot.com/http://www.google.co.id/imgres?um=1&hl=id&sa=N&biw=1440&bih=799&tbm=isch&tbnid=13qpmfKdwoJP_M:&imgrefurl=http://r0ch4.wordpress.com/2009/04/12/hutang-indonesia-terbesar-dalam-sejarah/&docid=bBlmirLIOQiAUM&imgurl=http://r0ch4.files.wordpress.com/2009/04/sumintar-solusi-utang.jpg%253Fw%253D259%2526h%253D300&w=259&h=299&ei=Jf2ET476IYWKmQX68IThBw&zoom=1&iact=rc&dur=211&sig=109071363071857546962&page=1&tbnh=145&tbnw=126&start=0&ndsp=28&ved=1t:429,r:1,s:0,i:64&tx=74&ty=84
Tidak ada komentar:
Posting Komentar