Sekilas tentang seorang jurnalis
berkewarganegaraan Belanda, namanya Willem Oltmans. Dia menulis buku “Bung
Karno Sahabatku”. Nah, gara-gar “bersahabat” dengan Bung Karno itulah ia
kemudian dipecat dari kantornya, suratkabar paling berpengaruh di Belanda, de
Telegraaf. Bukan hanya dipecat, Oltmans kemudian juga dipersona-non-grata-kan.
Jadilah ia orang buangan.
Sejak itu, ia terus bersahabat dengan Bung Karno. Ia berpindah-pindah kerja dari satu media ke media yang lain. Bahkan jauh setelah Bung Karno dilengserkan oleh anak bangsanya sendiri, dengan bantuan Amerika Serikat.
Sejak itu, ia terus bersahabat dengan Bung Karno. Ia berpindah-pindah kerja dari satu media ke media yang lain. Bahkan jauh setelah Bung Karno dilengserkan oleh anak bangsanya sendiri, dengan bantuan Amerika Serikat.
Pagi ini, saya sarapan bukunya Oltmans. Saya ingat-ingat, ini kali ketiga saya baca-baca bukunya. Gaya bertuturnya yang mengalir, serta sajian data-data yang akurat, membuat tulisan Oltmans cukup enak dinikmati. Lebih dari itu, kumpulan tulisan Oltmans sejatinya adalah sebuah penuangan catatan buku harian. Ia jurnalis yang correct. Yang menuliskan setiap hal secara detail.
Satu hal yang sempat menyedot perhatian saya, adalah tulisan dia berjudul “Penutup (Amsterdam 1995)”. Dalam tulisannya, ia berkisah tentang kunjungannya (kembali) ke Indonesia tahun 1994, setelah 28 tahun lamanya meninggalkan Indonesia. Ya, untuk beberapa waktu, Oltmans sempat berdiam di sini.
Dari catatan Oltmas, ia menyaksikan, betapa kepemimpinan Soeharto berkembang makin buruk saja. Ia mengkitik pedas terhadap perilaku jenderal-jenderal penyokong Soeharto, serta elite-elite yang lain bergelimang hidup mewah. Dalam setiap seremoni di hotel-hotel dan restoran-restoran mewah, mereka pamer kekayaan. Sekadar gambaran, ia kutip kata-kata Iwan Tirta, sang desainer top. Katanya, “Nyonya-nyonya kalau datang tidak mencari kain yang bagus, tetapi mencari kain yang mahal.”
Oltmans pun kemudian menyimpulkan, untuk rakyat Indonesia yang tinggal di desa-desa, kehidupan mereka tidak banyak berubah. Lantas dialirkanlah data, bahwa utang nasional Indonesia selama pimpinan Bung Karno antara 1945 – 1965, tidak sampai tiga miliar dolar. Itu pun, utang-utang untuk pembelian persenjataan bagi usaha pembebasan Irian Barat.
Sementara, periode pasca 1965 hingga 1995 di bawah Soeharto, utang nasional meningkat menjadi 100 miliar dolar. Bahkan data pengamat menyebutkan, jumlah itu terlalu kecil, dan cenderung terus bertambah, yang akan menimbulkan problem finansial bagi Indonesia, seperti Mexico. Sekarang, kita paham betul arti kalimat Oltmans tersebut, khususnya bagi kita yang mengalami badai krisis moneter, krisis multidimensi yang berbuntut jatuhnya Soeharto 1998.
Bung Karno, dalam kepemimpinannya, menolak dengan sekuat tenaga gelombang “investor” asing, karena pada hakikatnya hal itu sama denga praktek imperialisme dengan “baju” ekonomi. Ini beda dengan Soeharto yang selalu memenuhi keinginan Washington,CIA, dan Tokyo. Ia buka lebar-lebar pintu masuk bagi “peminat asing”. Oltmans menyebut contoh, peran Bob Hasan, tokoh hitam kroni Soeharto, yang mengakibatkan sebagian besar pulau Kalimantan hancur-lebur. Hutan-hutan yang berfungsi sebagai penyeimbang ekosistem, ditebang, dibabat, digunduli demi 10 miliar dolar setahun.
Ah, Oltmans… kamu satu dari sekian banyak orang Belanda yang berkontribusi bagi Indonesia melalui “catatan harian”-mu. Terima kasih.
(hanzcoudet)
sumber :
http://www.kumpulberita.com/2011/09/maha-utang-indonesia-pasca-bung-karno.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar