Jumat, 31 Mei 2013

Kronologisasi Ekonomi Makro

Ekonomi makro atau makro-ekonomi adalah studi tentang ekonomi secara keseluruhan. Makro-ekonomi menjelaskan perubahan ekonomi yang mempengaruhi banyak masyakarakat, perusahaan, dan pasar. Ekonomi makro dapat digunakan untuk menganalisis cara terbaik untuk memengaruhi target-target kebijaksanaan seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, tenaga kerja dan pencapaian keseimbangan neraca yang berkesinambungan.

Perkembangan Ekonomi Makro

I.    Zaman Pra Klasik
a)    Merkantilisme
Tergolong aliran politik yang berlangsung hingga akhir abad 18 kaum merkantilisme tidak mengenal seorang pemimpin kecuali suatu stelsel campur tangan pemerintah dalam perekonomian dengan tujuan meningkatkan kemakmuran. Misalnya memajukan industri dalam hubungan dengan perdagangan internasional, dengan politik proteksi.
Tujuan politik perniagaan ptoteksionis adalah untuk mencapai suatu neraca perdagangan aktif, supaya dengan neraca perdagangan aktif dapat diperoleh saldo ekspor yang dibayar dengan emas dan perak dari luar negeri.
Tiga dalil terkenal dari Merkantilisme adalah:
1.    Jika sesuatu Negara mempunyai neraca perdaganan positif maka, hal itu merupakan suatu kekayaan.
2.    Kaum merkantilisme menganggap bahwa uang sama dengan kekayaan.
3.   Jika dua Negara mengadakan tukar menukar, salah satu pihak mendapatkan keuntungan dan pihak lain mengalami kerugian.

b)    Fisiokrat
Ajaran-ajaran penting fisiokrat
Hanya tanah saja yang dapat memberi sumbangan netto kepada pendapatan nasional. “Jadi hanya tanah yang produktif”.
Produk netto yang dihasilkan oleh tanah dengan jalan pertukaran dibagi kepada berbagai kelas penduduk.
Kaum fisiokrat terkenal dengan penemuan arus lingkaran kegiatan ekonomi (curcular flow of ecomomic actifity) oleh seorang dokter bangsa Perancis Francois Quesnay (1964-1974) dianggap sebagai bapak ekonomi (sebenarnya)
Terdapat hubungan erat antara kaum fisiokrat dengan ajaran rasionalisme
II.    Kaum Klasik
Pendiri/pelopor kaum klasik adalah Adam Smith yang terkenal dengan bukunya 
“An inquiri in to the nature and causes of the wealth of nations” 
Adam Smith diakui sebagai bapak ilmu ekonomi (liberal) dengan dasar-dasar pemikiran antara lain:
Ajaran penyesuaian permintaan dan penawaran berdasarkan hokum Say (Jean Baptise Say) “every supply crated its own demand”. Baik pasar produk akhir maupun pasar input tenaga kerja, perekonomian selalu dalam keadaan equilibirium pada kondisi full amployement.
Pasar selalu dalam kondisi persaingan sempurna. Teori klasik bertujuan untuk menunjukkan bahwa suatu politik non intervensi pemerintah mengakibatkan keseimbangan ekonomi.
Teori harga disusun berdasarkan sisi penawaran klasik mengajarkan bahwa “harga wajar” (harga keseimbangan hanya ditentukan oleh biaya-biaya produksi, sedangakan sisi permintaan pasar seperti terabaikan). Kecenderungan ini muncul karena pengaruh hokum Say.
Produk bagi kaum klasik dipahami sebagai prodiksi materil sebagai usaha mengahasilkan benda-benda materil kecuali Jean Babtise Say yang mengajarkan pengertian produksi modern.
Mahzab klasik pelopor politik “Laissez Faire, lassesze passer, le monde va, de luui meme” (politik kebabasan individu berdasarkan mekanisme hokum alam, tanpa intervensi pemerintah dalam proses ekonomi). Pemimpin mahzab klasik di Inggris David Ricardo (bukunya berjudul The Principle of Political Economy and Taxation) Ricardo meletakkan dasar bagi teori harga, bahwa harga sesuai benda ditentukan oleh jumlah jam kerja dalam proses produksi (teori biaya tenaga kerja)
Teman sealirannya Thomas R. Maltus yang terkenal dengan teori penduduk (penduduk bertambah menurut deret ukur sedangakan bahan makanan menurut deret hitung)

Pelopor mahzab klasik di Perancis yaitu Jean Babtise Say terkenal melalui bukunya “Traite d’economice politique”, juga Frederick Bastiat yang mengajarkan bahwa tanpa campur tangan pemerintah dalam bentuk apapun juga dalam proses ekonomi secara otomatis akan timbul pemecahan masalah dan akan terjadi sesuatu harmoni antara semua kepentingan ekonomi. 

III.    Neo Klasik
Tokoh neo klasik adalah Alfred Marshall (1842-1924) pemimpin mahzab Cambridge dengan karya utama “The Principle of Economic”. Marshall menjadi terkenal dengan usahanya mempersatukan teori baru, teori guna batas dengan teori klasik dari Richardo.

IV.    Keynes
Pelopor perkembangan kesempatan kerja adalah John Maynerd Keynes (1981-1946) ahli ekonomi Inggris dengan bukunya “The General Theory of Employment Interest and Money” (1936). Keynes menyatakan bahwa mekanisme pasar bebas tidak secara otomatis menciptakan stabilitas dan keseimbangan ekonomi karena adanya kekakuan dalam berbagai sector ekonomi oleh sebab itu untuk menciptakan stabilitas dan keseimbangan ekonomi diperlukan peranan pemerintah secara aktif. 
Keynes menolak asumsi dari klasik yang menyatakan bahwa investasi tidak merubah pendapatana (income). Sebab perubahan investasi mempunyai pengaruh terhadap pendapatan nasional dan employment. Seterusnya Keynes berpendapat bahwa tinggi rendahnya Rate of Interst (tingkat bunga) bukan hanya ditentukan oleh supply dan demand daripada saving tetapi tergantung pada liquity of prevence dari supply of money.

V.    Pasca Keyes 
•   Ajaran Monetaris
Ajaran ini dikembangakan di Universitas Chicago (biasa disebut mahzab Chicago) yang dipimpin oleh Milton Friedman. Inti ajaran monetaris pada hakekatnya sama dengan mahzab klasik, mahzab monetaris menghendaki juga agar campur tangan pemerintah dibidang ekonomi dikurangai. Pemerintah sebaiknya memperhatikan tingkat laju pertumbuhan uang yang beredar, kebijaksanaan moneter yang tepat akan memacu pertumbuhan ekonomi

•    Ratex
Ajaran Ratex menekankan campur tangan pemerintah dikurangi dalam mengatur kegiatan ekonomi. Rational Expetation (Ratex) menerangkan bahwa ekspetasi masyarakat adalah rasional dalam aplikasinya dibidang ekonoi, Ratex mengembankan teori game. Teori game dikembangkan pertama kali pada tahun 1944 oleh John von Neumann dan Oscar Morgenstern dalam bukunya yang berjudul “Theory of Game and Economic Behavior” diterangkan bahwa bentuk persaingan dalam pasar kompetitif bercirikan suatu games artinya tingkah laku dari saingan kita menjadi patokan tingkah laku kita.

Inti revolusi Ratex adalah :
1.    Masyarakat akan menggunakan informasi terbatas mereka dengan efisien 
2.    Harga-harga dan upah akan lentur dan (fleksibel)
Hingga 1930 sebagian besar analisis ekonomi terfokus pada industri dan perusahaan. Ketika terjadi Depresi Besar pada tahun 1930-an, dan dengan perkembangan konsep pendapatan nasional dan statistik produk, bidang ekonomi makro mulai berkembang. Saat itu, gagasan-gagasan yang terutama berasal dari John Maynard Keynes, yang menggunakan konsep aggregate demand untuk menjelaskan fluktuasi antara hasil produksi dan tingkat pengangguran, sangat berpengaruh dalam perkembangan bidang ini. Keynesianisme didasarkan pada gagasan-gagasannya.

Sumber 
Diktat Pengantar Ilmu Ekonomi oleh Drs. E. Rumondor, M.si dan tim.



Jumat, 12 Oktober 2012

Sejarah Moneter Indonesia









Rentang masa pada tahun 1945 – 1949, dimana Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya dari penjajahan Belanda merupakan masa teramat buruknya kondisi perekonomian yang dialami. Meskipun Belanda saat itu telah mengakui secara de jure kedaulatan Republik Indonesia, tetapi usaha-usaha mengontrol dan mengintervensi ekonomi Indonesia masih menjadi tujuan strategis mereka ketika berada di wilayah kedaulatan. Ini terbukti dari langkah-langkah mereka dalam menguasai sebagian wilayah Indonesia dan Indonesia beberapa kali mengalami pergantian penguasa dan pusat Negara (Ibukota) yang disebabkan penculikan yang dilakukan kepada penguasa saat itu (Soekarno).
Selama masa itu (1945 – 1949) perkembangan perekonomian Indonesia amat sangat menyedihkan. Seluruh indikator makro ekonomi dengan tiada kecualinya dengan jelas bahwa kondisi jatuhnya ekonomi teramat dalam. Penurunan produksi yang penyebab utamanya adalah hancurnya faktor-faktor produksi akibat perang. Deficit neraca perdagangan terjadi beberapa tahun, deficit anggaran belanja Republik Indonesia dan Pemerintahan Hindia Belanda (pemeintahan buatan Belanda yang dibentuk di Indonesia) juga terjadi karena sebagian besar dipergunakan untuk bidang militer yang masing-masing kepentingannya untuk berperang diantara keduanya. Sehingga saat itu penambahan volume peradaran uang yang berlebihan akibat pencetakan yang dilakukan oleh pemerintah menyebabkan excess demand (permintaan berelebih) dari jumlah penawaran yang tetap dan terjadi inflasi yang sangat tinggi.
Data saat itu menunjukkan bahwa volume peredaran uang telah mencapai Rp. 6 miliar untuk wilayah yang dikuasai Indonesia, sedangkan pada wilayah penguasaan Belanda jumlahnya mencapai Rp. 3,7 miliar (tahun 1949).
Pada tahun yang sama terdapat berbagai jenis mata uang yang beradar dalam masyarakat yang berbeda-beda nilai tukarnya mengakibatkan situasi moneter menjadi teramat kacau (chaos) dan membigungkan. Kebijakan-kebijakan keuangan Negara di daerah tidak banyak perbedaan dengan kebijakan daerah pendudukan Belanda. Anggaran belanja kedua pemerintahan terus-menerus deficit hanya untuk memenuhi kebutuhan perang dengan tanpa memperbaiki kondisi perekonomian yang saat itu inflasi terlampau tinggi. Kendati demikian, pada tahun itu, Amerika Serikat dalam rangka melaksanakan program ‘Marshal Plan’ telah bersedia menyediakan dana bagi negara-negara eropa untuk membantu memulihkan perkonomiannya. Nah, karena Indonesia merupakan ‘dependent territory’ dari Belanda (Nederland), maka berhak menerima baik langsung atau pada kondisi tertentu. Yang menjadi syarat pemberian bantuan tersebut adalah bahwa nilai lawan dalam mata uang Indonesia (pendudukan Belanda) harus disetor ke dalam sebuah rekening ‘E.C.A. Counterpart Fund’, yang mulai diberlakukan untuk tujuan selektif. Akibat hal itu, lalu lintas pembayaran antara Indonesia dengan luar negeri berlangsung di bawah suatu ‘rezim devisa’, yang telah diberlakukan pada pertengahan 1940. Pangkal pokoknya dari ‘rezim devisa’ tersebut adalah bahwa devisa dan emas pada prinsipnya hanya diperkenankan dimiliki oleh negara. Dampak selanjutnya adalah valuta asing yang telah diperoleh dari hasil ekspor harus diserahkan kepada dana devisa.
Ekonomi moneter daerah kekuasaan Indonesia dengan secara langsung mengalami keadaan yang pasif, dimana hanya mampu memberikan akomodasi kepada keperluan-keperluan polotik dan militer serta mengusahakan jaminal yang sangat minimal untuk kehidupan rakyat.

Peredaran Mata Uang di Indonesia

Jumlah uang yang telah beradar di masyarakat pada saat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia secara de jure adalah jumlah uang tersebut ditambah dengan jumlah uang yang dikeluarkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Berikut adalah jenis-jenis mata uang yang telah diedarkan oleh pemerintahan Indonesia dan beberapa jenis mata uang yang beredar di Indonesia.

Jenis Mata Uang Pemerintah Pencetak Daerah Peredaran

ORI Pemerintah Pusat (Yogyakarta) Jawa dan Madura
URIBA Pemda Aceh Aceh
URITA Pemda Tapanuli Tapanuli
ORIPS Pemda Sumatera Tengah Sumatera Tengah
URISU Pemda Sumatera Utara UMUT dan Aceh
URIDAB Pemda Banten Banten
Uang Mandat Dewan Pertahanan Daerah SUMSEL SUMSEL
Straits Dollar Pemerintah Singapura dan Malaya Kepulauan Riau
Nieuw Gulden Pemerintah Hindia Belanda Irian Barat
Gunpyo Militer Jepang Pendudukan Jepang

Ketika masa pendudukan Belanda mata uang yang berlaku adalah mata uang yang dikeluarkan pemerintahan Hindia Belanda, yaitu uang kertas De Javasche Bank dan uang kertas pemerintah Hindia Belanda (munbilyet). Mata uang tersebut tetap dipergunakan sebagai alat pembayaran yang sah untuk aktivitas ekonomi Indonesia. Pada saat peredaran uang ‘muntbilyet’ itu, pemerintah Jepang mengeluarkan jenis mata uang sebagai alat pembayaran yang dikenal dengan ‘uang invasi’. Ketika pendudukan Indonesia oleh Jepang, ketiga mata uang tersebut beredar dan berlaku untuk segala transaksi perdagangan. Namun kondisi itu tidak berlangsung lama sebab mata uang Jepang mampu mendominasi peredarannya di Indonesia melebihi kedua mata uang lainnya ketika Jepang mampu menggelembungkan volume jumlah uang dengan usaha perang Jepang yang meningkat. Berikut adalah sebaran peredaran mata ‘uang invasi’ (Jepang) di Indonesia pada pertengahan Agustus 1945:

Daerah Peredaran Volume

Pulau Jawa k.l f 2,4 miliar
Sumatera k.l f 1,6 miliar
Kalimantan dan Sulawesi k.l f 4 miliar
Total Peredaran diperkirakan k.l f 8 miliar

ORI Sebagai Instrumen Moneter

Oeang Republik Indonesia (ORI) merupakan uang kertas pertama yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Kepentingan pencetakan ORI adalah untuk menggantikan uang Hindia Belanda dan uang Jepang yang telah lama beredar dan berlaku di Indonesia. Saat pengeluaran ORI berjalan penuh hambatan karena rencana pembuatan yaitu pada saat pemerintahan berada di Jakarta sedangkan ketika ORI sudah dikeluarkan pemerintahan berpindah ke Yogyakarta. Dala fungsiya sebagai alat pembayaran revolusi, ORI dapat disamakan dengan ‘continental money’(greenbacks), yang dikeluarkan oleh negara-negara koloni di Amerika Serikat. ORI juga sebagai ‘instrumen of revolution’ karena dipergunakan untuk administrasi negara, memperkuat kebutuhan tentara, memelihara kemanan dan ketertiban, serta mensejahterakan rakyat.

Ketika ORI akan diedarkan, pemerintah menarik kedua mata uang yang saat itu beredar di masyarakat. Tetapi menjadi hal yang tidak mungkin penarikan secara tiba-tiba dan dalam jumlah yang terlalu besar, maka akan terjadi kekacauan perekonomian dan kerugian bagi masyarakat. Maka dari itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menarik mata uang Hindia Belanda dan Jepang secara berangsur. Tindakan yang dilakukan pertama kali adalah pelarangan orang membawa uang tersebut lebih dari f 1000(uang Jepang) dari daerah Keresidenan Jakarta, Semarang, Surabaya, Bogor dan Priangan ke daerah-daerah lain di Jawa dan Madura, tanpa seizing terlebih dahulu dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Hal ini dilakukan pada tanggal22 Juni 1946. Dan kemudian berangsur berkurang peredarannya hingga uang-uang tersebut disimpan pada bank-bank yang ditunjuk, yaitu Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Bank Surakarta, Bank Nasional, Bank Tabungan Pos dan Rumah Gadai.

ORI ditandatangani oleh Menteri Keuangan A.A. Maramis pada tanggal 17 Oktober 1945 dan kemudian mulai beredar pada tanggal 30 Oktober 1946. Hanya bertahan selama 3 tahun 5 bulan atau tepatnya pada bulan Maret 1950 ORI kembali ditarik dari peredaran sehingga mata uang ini yang tidak sempat disebarkan ke berbagai daerah di Indonesia dibuatlah jenis mata tiap daerah oleh Pemerintah Daerah untuk memenuhi kebutuhan alat pembayaran yang sah sebagaimana disebutkan penyusun pada pembahasan sebelumnya. ORI pada akhir tahun 1949 telah mencapai volume Rp. 6 miliar. Pemerintah saat itu sangat menyadari bahwa kebijakan deficit financing menyebabkan perkembangan inflasi yang sangat tinggi. Tetapi pemerintah berada dalam kondisi yang dilema disebabkan kebutuhan yang sangat besar untuk perang.tindakan-tindakan perpajakan sangat tidak mungkin dilakukan karena kondisi yang sangat tidak memungkinkan.

Dari BNI ke BI

Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang no 2/1946 tanggal 5 Juli 1946 Bank Negara Indonesia (BNI) ditetapkan sebagai Bank sirkulasi dan Bank sentral kendati demikian BNI juga sebagai Bank Umum.

Dalam kondisi perekonomian Indonesia pasca proklamasi yang masih menyedihkan, BNI sebagai bank sentral dan bank sirkulasi tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai pengambil kebijakan moneter Indonesia secara maksimal. Kondisi perjuangan melawan penjajahan menyudutkan BNI untuk tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Walaupun sudah memenuhi wewenangnya dan berperan serta dalam penerbitan ORI, tetapi proses pengawalan moneter menjadi terbengkalai. Pengeluaran ORI dalam volume yang sangat banyak menyebabkan BNI tidak mampu mengendalikan arus inflasi yang terjadi akibat kelebihan permintaan pada jumlah penawaran yang tetap.

BNI memiliki beberapa tugas dan wewenang dalam memlihara stabilitas moneter dan mengamankan pertumbuhan ekonomi. Beberapa kategorinya pekerjaan yang sangat luas tersebut termasuk kebijakan pembatasan perkreditan secara kuantitatif dan kualitatif; penetpan dan perubahan tingkat bunga; penentuan junlah uang beredar, dan yag diperkirakan diperlukan sesuai dengan pertumbuhan ekonomi tertentu. Sekali lagi, bahwa kondisi-kondisi yang penuh dengan kekacauan tugas-tugas tersebut tidajk dapat dipenuhi kecuali BNI pernah memberikan kredit ke berbagai bank-bank lain.

Dalam aktivitasnya menjadi Bank Umum, BNI telah mampu menghimpun dana simpanan dari masyarakat hingga mencapai Rp 40 juta pada akhir 1947.

Pembahasan tentang BNI sebagai bank sentral masuk dalam pembahsan di Konferensi Meja Bundar yang berlangsung pada tanggal 19 – 22 Juli 1949 di Yogyakarta dan 31 Juli – 2 Agustus 1949 di Jakarta. KMB menetapkan bahwa BNI ditentutak sebagai Bank Pembangunan. Ada banyak protes keras yang tujukan kepada pemerintah saat itu tentang persoalan ini. Ketidakjelasan penetapan pemerintah mengenai status BNI, BNI dengan inisiatif mengalihkan dirinya pada kegiatan ke bidang pembangunan ekonomi dan perdagangan, sehingga secara langsung fingsinya berubah menjadi murni sebagai bank umum. Penegasan status BNI sebagai bank umum melalui peraturan perundan-undangan ditetapkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 2 tahun 1955. Maka secara resmi status BNI sebagai bank sentral dan bank sirkulasi praktis bukan menjadi wewenangnya.



Lahirnya Bank Indonesia (BI) merupakan kelanjutan dari penerapan undang-undang tentang nasionalisasi De Jaavasche Bank dengan pemindahan hak milik saham-saham tersebut dari tangan pemilik swasta ke tangan pemerintah. Langkah nasionalisasi De Javasche Bank bertujuan untuk membentuk satu bank sentral yang dimiliki negara Indonesia sesuai dengan kedudukan RI sebagai negara merdeka dab berdaulat. Pada tanggal 10 April 1953 parlemen Indonesia telah selesai membahas dan menyetujui dari rencana Undang-Undang Pokok Bank Indonesia yang diajukan pemerintah yang disertai perubahan penting lainnya. Kemudia pada tanggal 2 Juni 1953 Undang-undag tersebut diumumkan pada Lembaran Negara No. 40 dan dengan demikian telah berlaku pada tanggal 1 Juli 1953 dengan nama ‘Bank Indonesia’ yang tugas dan wewenangnya serupa ketika BNI berstatus sebagai bank sentral.
Setelah berdirinya Bank Indonesia, kebijakan moneter di Indonesia secara umum ditetapkan oleh Dewan Moneter dan pemerintah bertanggung jawab atasnya. Mengingat buruknya perekonomian pasca perang, yang ditempuh pertama kali dalam bidang moneter adalah upaya perbaikan posisi cadangan devisa melalui kegiatan ekspor dan impor. Pada periode ekonomi terpimpin, pembiayaan deficit spending keuangan negara terus meningkat, terutama untuk membiayai proyek politik pemerintah. Laju inflasi terus membumbung tinggi sehingga dilakukan dua kali pengetatan moneter, yaitu tahun 1959 dan 1965. Lepas dari periode tersebut pemerintah memasuki masa pemulihan ekonomi melalui program stabilisasi dan rehabilitasi yang kemudian diteruskan dengan kebijakan deregulasi bidang keuangan dan moneter pada awal 1980-an. Di tengah pasang surutnya kondisi perekonomian, lahirlah berbagai paket kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk memperkuat struktur perekonomian Indonesia.
Mulai pertengahan tahun 1997, krisis ekonomi moneter menerpa Indonesia. Nilai tukar rupiah melemah, sistem pembayaran terancam macet, dan banyak utang luar negeri yang tak terselesaikan. Berbagai langkah ditempuh, mulai dari pengetatan moneter hingga beberapa program pemulihan IMF yang diperoleh melalui beberapa Letter of Intent (LoI) pada tahun 1998. Namun akhirnya masa suram dapat terlewati. Perekonomian semakin membaik seiring dengan kondisi politik yang stabil pada masa reformasi. Sejalan dengan itu, tahun 1999 merupakan tonggak bersejarah bagi Bank Indonesia dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3/2004. Dalam undang-undang ini, Bank Indonesia ditetapkan sebagai lembaga tinggi negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Sesuai undang-undang tersebut, Bank Indonesia diwajibkan untuk menetapkan target inflasi yang akan dicapai sebagai landasan bagi perencanaan dan pengendalian moneter. Selain itu, utang luar negeri berhasil dijadwalkan kembali dan kerjasama dengan IMF diakhiri melalui Post Program Monitoring (PPM) pada 2004.

1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Moneter Periode 1997 - 1999

Sejak Juli 1997 telah terjadi krisis ekonomi moneter yang menggoncang ,sendi-sendi ekonomi dan politik nasional. Bagi perbankan, krisis telah menimbulkan kesulitan likuiditas yang luar biasa akibat hancurnya Pasar Uang antar Bank (PUAB). Sebagai lender of the last resort BI harus membantu mempertahankan kestabilan sistem perbankan dan pembayaran untuk mempertahankan kelangsungan ekonomi nasional. Nilai tukar Rupiah terus merosot tajam, pemerintah melakukan tindakan pengetatan Rupiah melalui kenaikan suku bunga yang sangat tinggi dan pengalihan dana BUMN/yayasan dari bank-bank ke BI (SBI) serta pengetatan anggaran Pemerintah. Ternyata kebijakan tersebut menyebabkan suku bunga pasar uang melambung tinggi dan likuiditas perbankan menjadi kering yang menimbulkan bank kesulitan likuiditas. Segera setelah itu masyarakat  mengalami kepanikan dan kepercayaan mereka terhadap perbankan mulai menurun.
Maka terjadi penarikan dana perbankan secara besar-besaran yang sekali lagi menimbulkan kesulitan likuiditas pada seluruh sistem perbankan. Akibatnya system pembayaran terancam macet dan kelangsungan ekonomi nasional tergocang. Untuk itu pada Oktober 1997, pemerintah mengundang IMF untuk membantu program pemulihan krisis di Indonesia. Pada 31 Oktober 1997 disetujui LoI pertama yang merupakan program pemulihan krisis IMF. Pemerintah antara lain menyatakan akan menjamin pembayaran kembali kepada para deposan.  Memasuki 1998 keadaan ekonomi semakin memburuk, nilai Rupiah terhadap Dollar tertekan hingga Rp 16.000 hal tersebut disebabkan pasokan barang yang menurun dengan tajam karena kegitan produksi berkurang dan jalur distribusi terganggu karena rusaknya sentra-sentra perdagangan karena kerusuhan Mei 1998. Pada 15 Januari 1998 Pemerintah mempercepat program stabilisasi dan reformasi ekonomi dengan LoI kedua. LoI kedua diikuti dengan LoI ketiga 8 April 1998 yang mencakup program stabilisasi Rupiah, pembekuan 7 bank dan penempatan nya pada BPPN serta penyelsaian hutang swasta dengan Pemerintah sebagai mediator. Kemudian LoI keempat pada 25 Juni 1998 yang mencakup revisi atas target-target ekonomi dan penyediaan Jaringan Pengaman Sosial (JPS).  Selain mengatasi krisis moneter, pemerintah juga juga membantu menyelesaikan pinjaman luar negeri sektor swasta. Diantaranya pemerintah membentuk Tim Penyelesaian Utang Luar Negeri Swasta (TPULNS) yang menghasilkan kesepakatan di Frankfurt pada 4 Juni 1998 tentang penyelesaian utang luar negeri swasta. Masih dalam upaya yang serupa, pemerintah membentuk INDRA (Indonesian Restructuring Assets) yang bertugas melindungi debitur Indonesia dari resiko perubahan nilai tukar pada jumlah hutangnya. Kemudian pada 9 September 1998 pemerintah membentuk Prakarsa Jakarta untuk menyediakan akses bagi perusahaan agar dapat mendaptkan modal baru guna menggerakkan kembali usahanya. Langkah tersebut diambil sebagai bagian dari program restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan.


http://erwinnomic.blogspot.com/2010/08/tinjauan-sejarah-sistem-moneter.html
http://fakta-sejarah.blogspot.com/2009/02/moneter-indonesia.html
http://perpustakaan.depkeu.go.id

Selasa, 09 Oktober 2012

Kesederhanaan hidup PNS


KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 1974

TENTANG

BEBERAPA PEMBATASAN KEGIATAN PEGAWAI NEGERI
DALAM RANGKA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
DAN KESEDERHANAAN HIDUP

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang
:
a.
bahwa pengeluaran dan penggunaan uang Negara oleh setiap unsur aparatur Negara haruslah berdasarkan atas kepentingan dan tujuan yang tepat, hemat dan dapat dipertanggung-jawabkan;
  
b.
bahwa untuk memberikan arah agar segala kemampuan dalam Pembangunan dapat digunakan dengan lebih effektif dan effisien maka dipandang perlu mengeluarkan Keputusan Presiden yang menggariskan patokan-patokan umum bagi tingkah laku pegawai negeri untuk melaksanakan pola hidup sederhana.
Mengingat
:
1.
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
  
2.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1974 tentang Pembatasan Kegiatan Pegawai Negeri dalam usaha swasta.
  
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG BEBERAPA PEMBATASAN KEGIATAN PEGAWAI NEGERI DALAM RANGKA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN KESEDERHANAAN HIDUP.
  
BAB I
PENERIMAAN/PELAYANAN TAMU
YANG BERKUNJUNG KE DAERAH
Pasal 1
  
(1)
Instansi-instansi Pemerintah Pusat maupun Daerah serta Penjabat-penjabatnya di larang memberikan pelayanan yang berlebih-lebihan kepada Pegawai Negeri, Anggota ABRI dan Penjabat yang berkunjung ke daerahnya, baik dalam rangka tugas rutin maupun tugas khusus lainnya, seperti kunjungan kerja, peresmian suatu proyek, penelitian dan lain-lain sebagainya.
  
(2)
Termasuk dalam pengertian "pelayanan yang berlebih-lebihan" yang dimaksud ayat (1) Pasal ini adalah :
   
a.
penyambutan dengan penyelenggaraan resepsi, pesta-pesta atau pengawalan dan penghormatan yang melebihi ketentuan yang berlaku;
   
b.
pemberian hadiah/tanda kenang-kenangan berupa apapun, baik kepada Pegawai Negeri, Anggota ABRI dan Penjabat yang bersangkutan, anggota rombongannya maupun isteri Pegawai Negeri dan Penjabat yang bersangkutan.
  
BAB II
PENYELENGGARAAN HARI ULANG TAHUN DEPARTEMEN,
 INSTANSI PEMERINTAH, PERUSAHAAN MILIK NEGARA,
SATUAN ABRI DAN LAIN-LAIN
Pasal 2
  
(1)
Penyelenggaraan Hari Ulang Tahun dari Departemen, Instansi Pemerintah, Perusahaan Milik Negara, Satuan ABRI dan Badan-badan resmi lainnya dilakukan secara sederhana dengan upacara bendera.
  
(2)
Penyelenggaraan Hari Ulang Tahun dengan acara pesta-pesta, selamatan atau acara-acara lain yang serupa dilarang.
  
(3)
Pegawai Negeri, Anggota ABRI atau Penjabat dilarang memberikan hadiah berupa apapun atas biaya Negara untuk atau sehubungan dengan Hari Ulang Tahun dari Departemen, Instansi Pemerintah, Perusahaan Milik Negara, Satuan ABRI atau Badan-badan resmi lainnya, demikian juga untuk atau sehubungan dengan Hari Ulang Tahun perorangan dan badan swasta.
  
BAB III
LARANGAN PENGGUNAAN KENDARAAN DINAS
MEWAH DAN BERLEBIHAN
Pasal 3
  
(1)
pegawai Negeri, Anggota ABRI dan Penjabat Instansi Pemerintah dilarang menguasai/menggunakan kendaraan dinas yang tergolong mewah.
  
(2)
Kendaraan dinas yang digolongkan mewah adalah kendaraan yang golongan kelasnya lebih tinggi daripada yang telah dapat diassembling di Indonesia yakni sedan 3000 CC ke atas berdasarkan pada penentuan standardisasi yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, Menteri Perhubungan dan Ketua BAPPENAS.
  
(3)
Pegawai Negeri, Anggota ABRI dan Penjabat atau Instansi Pemerintah yang dewasa ini telah menguasai/menggunakan kendaraan dinas tersebut ayat (2) Pasal ini, supaya selambat-lambatnya pada tanggal 1 April 1974 telah menyerahkan kendaraannya tersebut kepada Sekretariat Negara di Jakarta.
  
Pasal 4
  
(1)
Pegawai Negeri, Anggota ABRI dan Penjabat tidak dibenarkan menguasai/menggunakan lebih dari satu kendaraan dinas.
  
(2)
Ketentuan tersebut pada ayat (1) Pasal ini berlaku juga bagi mereka yang menduduki lebih dari satu jabatan.
  
(3)
Pegawai Negeri, Anggota ABRI dan Penjabat yang pada saat berlakunya Keputusan Presiden ini telah menguasai/menggunakan lebih dari satu kendaraan dinas, diwajibkan menyerahkan kembali kepada instansinya selambat-lambatnya pada tanggal 1 April 1974.
  
Pasal 5
  
(1)
Juga dilarang Pegawai Negeri, Anggota ABRI dan Penjabat menempati lebih dari sebuah rumah dinas.
  
(2)
Pegawai Negeri, Anggota ABRI dan Penjabat yang bersangkutan berkewajiban menyerahkan kembali salah satu rumah dinas tersebut kepada instansinya selambat-lambatnya pada tanggal 17 Agustus 1974.
  
BAB IV
PEMBATASAN PERJALANAN LUAR NEGERI
Pasal 6
  
Pegawai Negeri, Anggota ABRI, Penjabat dan isterinya yang akan melakukan perjalanan luar negeri untuk kepentingan pribadi, wajib mendapat izin tertulis dari Penjabat Yang Berwenang sesuai dengan ketentuan prosedur perjalanan luar negeri yang berlaku.
  
BAB V
LARANGAN PENERIMAAN/PEMBERIAN HADIAH
Pasal 7 
  
Pegawai Negeri, Anggota ABRI dan Penjabat dilarang menerima hadiah atau pemberian lain serupa itu dalam bentuk apapun kecuali dari suami, isteri, anak, cucu, orang tua, nenek atau kakek dalam kesempatan-kesempatan tertentu, seperti ulang tahun, tahun baru, lebaran, natal dan peristiwa-peristiwa lain yang serupa, kecuali apabila adat belum memungkinkan.
  
Pasal 8
  
Pegawai Negeri, Anggota ABRI dan Penjabat dilarang menerima hadiah atau pemberian lain-lain serupa itu dalam bentuk apapun dan dari siapapun juga dalam kesempatan-kesempatan lain di luar yang tersebut dalam Pasal 7 Keputusan Presiden ini, apabila ia mengetahui atau patut dapat menduga, bahwa pihak yang memberi mempunyai maksud yang bersangkut-paut atau mungkin bersangkut-paut langsung dan tidak langsung dengan jabatannya atau pekerjaannya.
  
Pasal 9
  
(1)
Pegawai Negeri, Anggota ABRI dan Penjabat dilarang memberikan hadiah atau pemberian lain yang serupa itu atas biaya negara.
  
(2)
Termasuk dalam pengertian pemberian lain yang serupa dalam ayat (1) Pasal ini, adalah :
   
a.
mengirim karangan bunga;
   
b.
mengadakan selamatan;
   
c.
memasang iklan ucapan selamat.
  
BAB VI
LARANGAN MEMASUKI TEMPAT-TEMPAT
UMUM TERTENTU
Pasal 10
  
(1)
Pegawai Negeri, Anggota ASRI dan Penjabat dilarang memasuki tempat-tempat umum seperti :
   
a.
tempat perjudian;
   
b.
klab malam (night club);
   
c.
pemandian uap (steambath)
   
dan lain-lain tempat serupa itu yang dapat mencemarkan kehormatan dan martabat Pegawai Negeri, Anggota ABRI dan Penjabat.


(2)
Larangan tersebut ayat (1) Pasal ini berlaku juga bagi isteri Pegawai Negeri, Anggota ABRI dan Penjabat.


(3)
Ketentuan tersebut ayat (1) Pasal ini tidak berlaku bagi Pegawai Negeri, Anggota ABRI dan Penjabat dalam rangka pelaksanaan tugasnya yang dilakukan atas perintah tertulis dari Penjabat yang berwenang.


BAB VII
PENYELENGGARAAN PERAYAAN YANG BERSIFAT PRIBADI
Pasal 11


(1)
Pegawai Negeri, Anggota ABRI dan Penjabat, apabila menyelenggarakan pesta atau merayakan peringatan yang bersifat pribadi seperti perkawinan, ulang tahun, khitanan dan lain-lain peringatan yang serupa itu, agar menyelenggarakannya secara sederhana dan tidak berlebih-lebihan.


(2)
Termasuk pengertian "berlebih-lebihan" dalam ayat (1) Pasal ini adalah :



a.
penyelenggaraan upacara/acara lebih dari 2 (dua) kali untuk satu peristiwa;



b.
penyelenggaraan upacara/acara yang dikunjungi lebih dari 250 pasang undangan.


BAB VIII
KETENTUAN PELAKSANAAN
Pasal 12


Setiap Pimpinan Departemen, Instansi Pemerintah, Perusahaan milik Negara, Satuan ABRI dan Badan-badan lainnya harus berusaha agar Keputusan Presiden ini dapat terlaksana dengan jalan :


a.
Memberikan instruksi petunjuk pelaksanaan untuk Departemen/Instansinya masing-masing;


b.
Memberikan contoh kepada Pegawai Negeri, Anggota ABRI, Penjabat dan Instansi bawahannya untuk mentaati Keputusan Presiden ini;


c.
Mengadakan pengawasan sebaik-baiknya serta mengambil tindakan yang diperlukan terhadap mereka yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam Keputusan Presiden ini.


Pasal 13


Sanksi-sanksi yang dapat digunakan untuk menegakkan terlaksananya Keputusan Presiden ini adalah :


a.
Hukuman Jabatan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1952 tentang Hukuman Jabatan;


b.
Hukuman pidana berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan hukuman pidana lain berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.


BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14


(1)
Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri, Anggota ABRI, Penjabat dan Penjabat Yang Berwenang dalam Keputusan Presiden ini adalah sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1974 tentang Pembatasan Kegiatan Pegawai Negeri dalam usaha swasta.


(2)
Yang dimaksud dengan Instansi Pemerintah juga termasuk Perusahaan-perusahaan milik Negara dan Perusahaan Daerah.


Pasal 15


Keputusan Presiden ini berlaku mulai tanggal ditetapkan.













Ditetapkan di Jakarta






pada tanggal 5 Maret 1974






PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA













              ttd.








      SOEHARTO

      JENDERAL TNI

Kamis, 23 Agustus 2012

Menteri Keuangan ; Masa ke Masa

 Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo;
Kabinet Indonesia Bersatu II; 20-05-2010 s.d sekarang.
 
     
  Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati;
Kabinet Indonesia Bersatu; 07-12-2005 s.d 20-05-2010.
 
     
  Menteri Keuangan Jusuf Anwar;
Kabinet Indonesia Bersatu; 21-10-2004 s.d 07-12-2005.
 
 
     
  Menteri Keuangan Boediono;
Kabinet Gotong Royong; 10 Agustus 2001 s.d. 21-10-2004.
 
     
  Menteri Keuangan Rizal Ramli;
Kabinet Persatuan Nasional; 13 Juli 2001 s.d. 10 Agustus 2001.
 
     
  Menteri Keuangan Prijadi Praptosuhardjo;
Kabinet Persatuan Nasional; 28 Agustus 2000 s.d. 13 Juli 2001.
 
     
  Menteri Keuangan Bambang Sudibyo;
Kabinet Persatuan Nasional; 29 Oktober 1999 s.d. 28 Agustus 2000.
 
     
  Menteri Keuangan Bambang Subianto;
Kabinet Reformasi Pembangunan; 23 Mei 1998 s.d. 29 Oktober 1999.
 
     
  Menteri Keuangan Fuad Bawazier;
Kabinet Pembangunan VII; 16 Maret 1998 s.d. 23 Mei 1998.
 
     
  Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad;
Kabinet Pembangunan VI; Maret 1993 s.d. Maret 1998.
 
     
  Menteri Keuangan Johannes Baptista Sumarlin dan Menteri Muda Keuangan Nasruddin Sumintapura;
Kabinet Pembangunan V; Maret 1988 s.d. 1993.
 
     
  Menteri Keuangan Radius Prawiro;
Kabinet Pembangunan IV; 31 Maret 1983 s.d. 21 Maret 1988.
 
     
  Menteri Keuangan Ali Wardhana;
Kabinet Pembangunan II; 27 Maret 1973 s.d. 31 Maret 1983.
 
     
  Menteri Keuangan Ali Wardhana;
Kabinet Pembangunan I; 6 Juni 1968 s.d. 27 Maret 1973.
 
     
  Menteri Keuangan Frans Seda;
Kabinet Ampera yang disempurnakan; 17 Oktober 1967 s.d. 6 Juni 1968.
 
     
  Menteri Keuangan Frans Seda;
Kabinet Ampera; 25 Juli 1966 s.d. 17 Oktober 1967.
 
     
  Menteri Keuangan (Koordinator) Sumarno;
Kabinet Dwikora yang disempurnakan; 28 Maret 1966 s.d. 25 Juli 1966.
 
     
  Menteri Keuangan (Koordinator) Sumarno;
Kabinet Dwikora; 27 Agustus 1964 s.d. 28 Maret 1966.
 
     
  Menteri Keuangan (Koordinator) Sumarno;
Kabinet Kerja IV; 13 Nopember 1963 s.d. 27 Agustus 1964.
 
     
  Menteri Keuangan R.M Notohamiprodjo;
Kabinet kerja III; 6 Maret 1962 s.d. 13 Nopember 1963.
 
     
  Menteri Keuangan Djuanda dan R.M Notohamiprodjo;
Kabinet kerja II; 18 Februari 1960 s.d. 6 Maret 1962.
 
     
  Menteri Keuangan H. Djuanda;
Kabinet Kerja I; 10 Juli 1959 s.d. 18 Februari 1960.
 
     
  Menteri Keuangan Sutikno Slamet;
Kabinet Karya; 9 April 1957 s.d. 10 Juli 1959.
 
     
  Menteri Keuangan Jusuf Wibisono;
Kabinet Ali Sastroamidjojo II; 24 Maret 1956 s.d. 9 April 1957.
 
     
  Menteri Keuangan Sumitro Djojohadikusumo;
Kabinet Burhanuddin Harahap; 12 Agustus 1955 s.d. 24 Maret 1956.
 
     
  Menteri Keuangan Ong Eng Die;
Kabinet Ali Sastroamidjojo I; 30 Juli 1953 s.d. 12 Agustus 1955.
 
     
  Menteri Keuangan Sumitro Djojohadikusumo;
Kabinet Wilopo; 3 April 1952 s.d. 30 Juli 1953.
 
     
  Menteri Keuangan Jusuf Wibisono;
Kabinet Sukiman-Suwirjo; 27 April 1951 s.d. 3 April 1952.
 
     
  Menteri Keuangan Sjafrudin Prawiranegara;
Kabinet Natsir (Kabinet Negara Kesatuan yang pertama); 6 September 1950 s.d. 27 April 1951.
 
     
  Menteri Keuangan Lukman Hakim;
Kabinet Susanto; 20 September 1949 s.d. 21 Januari 1950;
dan sampai Kabinet Halim; 21 Januari 1950 s.d. 6 September 1951.
 
     
  Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara;
Kabinet R.I.S.; 20 Desember 1949 s.d. 6 September 1950.
 
     
  Menteri Keuangan Surachman Tjokrodisurjo;
Kabinet Sjahrir I; 14 November 1945 s.d. 12 Maret 1946.
 
     
  Menteri Keuangan Sunarjo Kolopaking dan diganti Surachman Tjokrodisurjo;
Kabinet Sjahrir I; 14 November 1945 s.d. 12 Maret 1946.
 
     
  Menteri Keuangan Samsi, kemudian diganti oleh A.A Maramis;
Kabinet Presidensial; 19 Agustus 1945 s.d. 14 November 1945.

http://www.depkeu.go.id/ind/Organization/?prof=hismenkeu
http://www.perpustakaan.depkeu.go.id