Direktorat Jenderal Pajak
Dari Wikipedia Indonesia,
ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Direktorat Jenderal Pajak adalah
sebuah Direktorat Jenderal di bawah Departemen Keuangan Republik Indonesia yang
mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi
teknis di bidang perpajakan.
Dalam melaksanakan tugasnya,
Direktorat Jenderal Pajak menyelenggarakan fungsi:
1. penyiapan
perumusan kebijakan Departemen Keuangan di bidang perpajakan
2. pelaksanaan
kebijakan di bidang perpajakan
4. pemberian
bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perpajakan
5. pelaksanaan
administrasi Direktorat Jenderal
6. Struktur
Organisasi Direktorat Jenderal Pajak
Sejarah
Organisasi Direktorat Jenderal
Pajak pada mulanya merupakan perpaduan dari beberapa unit organisasi yaitu :
Jawatan Pajak yang bertugas
melaksanakan pemungutan pajak berdasarkan perundang-undangan dan melakukan
tugas pemeriksaan kas Bendaharawan Pemerintah;
Jawatan Lelang yang bertugas
melakukan pelelangan terhadap barang-barang sitaan guna pelunasan piutang pajak
Negara;
Jawatan Akuntan Pajak yang
bertugas membantu Jawatan Pajak untuk melaksanakan pemeriksaan pajak terhadap
pembukuan Wajib Pajak Badan; dan
Jawatan Pajak Hasil Bumi
(Direktorat Iuran Pembangunan Daerah pada Ditjen Moneter) yang bertugas
melakukan pungutan pajak hasil bumi dan pajak atas tanah yang pada tahun 1963
dirubah menjadi Direktorat Pajak Hasil Bumi dan kemudian pada tahun 1965
berubah lagi menjadi Direktorat Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA).
Dengan keputusan Presiden RI No.
12 tahun 1976 tanggal 27 Maret 1976, Direktorat Ipeda diserahkan dari
Direktorat Jenderal Moneter kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Pada tanggal 27 Desember 1985
melalui Undang-undang RI No. 12 tahun 1985 Direktorat IPEDA berganti nama
menjadi Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Demikian juga unit kantor di
daerah yang semula bernama Inspeksi Ipeda diganti menjadi Inspeksi Pajak Bumi
dan Bangunan, dan Kantor Dinas Luar Ipeda diganti menjadi Kantor Dinas Luar
PBB.
Untuk mengkoordinasikan
pelaksanaan tugas di daerah, dibentuk beberapa kantor Inspektorat Daerah Pajak
(ItDa) yaitu di Jakarta dan beberapa daerah seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan,
dan Indonesia Timur. Inspektorat Daerah ini kemudian menjadi Kanwil Ditjen
Pajak (Kantor Wilayah) seperti yang ada sekarang ini
Sejarah Pajak Penghasilan
Pengenaan pajak langsung sebagai
cikal bakal dari pajak penghasilan sudah terdapat pada zaman Romawi Kuno,
antara lain dengan adanya pungutan yang bernama tributum yang berlaku sampai
dengan tahun 167 Sebelum Masehi. Pengenaan pajak pajak penghasilan secara
eksplisit yang diatur dalam suatu Undang-undang sebagai Income Tax baru dapat
ditemukan di Inggris pada tahun 1799. Di Amerika Serikat, pajak penghasilan
untuk pertama kali dikenal di New Plymouth pada tahun 1643, dimana dasar
pengenaan pajak adalah ” a person’s faculty, personal faculties and
abilitites”, Pada tahun 1646 di Massachusett dasar pengenaan pajak didasarkan
pada “returns and gain”. “Tersonal faculty and abilities” secara implisit
adalah pengenaan pajak pengahasilan atas orang pribadi, sedangkan “Returns and
gain” berkonotasi pada pajak penghasilan badan. Tonggak-tonggak penting dalam
sejarah pajak di Amerika Serikat adalah Undang-Undang Pajak Federal tahun 1861
yang selanjutnya telah beberapa kali mengalami tax reform, terakhir dengan Tax
Reform Act tahun 1986. Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (tax return) yang
dibuat pada tahun 1860-an berdasarkan Undang-Undang Pajak Federal tersebut
telah dipergunakan sampai dengan tahun 1962.
Pajak Penghasilan di Indonesia
Sejarah pengenaan Pajak
Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks) pada
tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka
yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode
sampai dengan tuhun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara
penduduk pribumi dengan orang Asia dan orang Eropa, dengan kata lain dapat
dikatakan, bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam
perlakuan perpajakan Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan
kepada orang Eropa seperti “patent duty”. sebaliknya business tax atau
bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882 sampai
tahun 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status
pribadi, pemilikan rumah dan tanah.
Pada tahun 1908 terdapat
Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan badan-badan
yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya.
Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun
barang tak gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah,
pensiun dan pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan
3% atas dasar kriteria tertentu.
Selanjutnya, tahun 1920 dianggap
sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan
dengan diperkenalkannya General Income Tax yakni Ordonansi Pajak Pendapatan
Yang Dibaharui tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting 1920,
Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi penduduk pribumi, orang
Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi Pajak Pendapatan ini telah diterapkan
asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan [[asas sumber]].
Karena desakan kebutuhan dengan
makin banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia seperti
perkebunan-perkebunan (ondememing), pada tahun 1925 ditetapkanlah Ordonansi
Pajak Perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yakni pajak
yang dikenakan tethadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak
Perseroan). Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan
penyempurnaan antara lain dengan UU No. 8 tahun 1967 tentang Psnibahan dan
Penyempurnaan Tatacara Pcmungiitan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932
dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam praktck lebih dikenal dengan UU MPO
dan MPS. Perubahan penting lainnya adalah dengan UU No. 8 tahun 1970 dimana
fungsi pajak mengatur/regulerend dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs 1925.,
khususnya tentang ketentuan “tax holiday”. Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai
dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat diadakannya tax reform, Pada
awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan 1925
dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul
kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan
ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de
Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang
pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas pajak penghasilan telah diterapkan
kepada penduduk Indonesia; kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan
pajak atas penghasilan yang dihasilkannnya di Indonesia; Ordonansi ini juga
telah mengenal asas sumber dan asas domisili.
Dengan makin banyak
perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan mengenakan pajak
terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935
ditetapkanlah Ordonansi Pajak Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban
kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif
progresif dari 0% sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II diperlakukan
Oorlogsbelasting (Pajak Perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun
1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan UU Nomor
21 tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun
1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat
dengan PPd. Saja. Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan
terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968
tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944,
Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan “UU MPO
dan MPS”. Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku
sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya tax reform di
Indonesia.
Obyek Pajak Penghasilan
Yang menjadi Objek Pajak adalah
penghasilan yaitu setiap Tambahan Kemampuan Ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib
Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Undang-undang Pajak Penghasilan
Indonesia menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang
luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat
dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam
Undang-undang PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu,
tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai
kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang
diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari penggunaannya,
penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak.
Karena Undang-undang PPh menganut
pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima
atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar
pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu Tahun Pajak suatu usaha
atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan
penghasilan lainnya (Kompensasi Horisontal), kecuali kerugian yang diderita di
luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak
dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka
penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang
dikenakan tarif umum.
Kronologi Perubahan Undang-undang
yang mengatur Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan (disingkat PPh)
di Indonesia diatur pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dengan
penjelasan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50. Selanjutnya
berturut-turut peraturan ini diamandemen oleh
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991,
Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1994, dan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2000.
Mulai Juli 2003 sampai Desember
2004, pemerintah menerapkan sistem pajak yang ditanggung pemerintah yang diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2003 dan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 486/KMK.03/2003.
Perubahan Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP) telah disesuaikan juga beberapa kali dalam:
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
564/KMK.03/2004, berlaku untuk tahun pajak 2005 (sekaligus meniadakan pajak
yang ditanggung pemerintah).
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
137/PMK.03/2005, berlaku untuk tahun pajak 2006.
Pajak
Dari Wikipedia Indonesia,
ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Pajak adalah iuran rakyat kepada
kas negara berdasarkan undang-undang —sehingga dapat dipaksakan— dengan tiada
mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan
norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif
untuk mencapai kesejahteraan umum.
Lembaga Pemerintah yang mengelola
perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang
merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Departemen
Keuangan Republik Indonesia.Daftar isi [sembunyikan]
1 Definisi
2 Ciri pajak
3 Fungsi pajak
4 Syarat pemungutan pajak
5 Asas pemungutan
5.1 Asas pemungutan pajak menurut
pendapat para ahli
5.2 Asas Pengenaan Pajak
6 Teori pemungutan
7 Penerimaan Pajak di Indonesia
8 Lihat pula
9 Pranala luar
Definisi
Terdapat bermacam-macam batasan
atau definisi tentang “pajak” yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya
adalah :
Menurut Prof. Dr. P. J. A.
Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan)
yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum
(undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat
ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Menurut Prof. Dr. H. Rochmat
Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan
undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra
prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai
berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara
untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving
yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
Sedangkan menurut Sommerfeld Ray
M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R, pajak adalah suatu pengalihan
sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum,
namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu,
tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat
melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Pajak dari perspektif ekonomi
dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor
publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua
situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam
menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua,
bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik
yang merupakan kebutuhan masyarakat.
Sementara pemahaman pajak dari
perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena
adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk
menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai
kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk
penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa
pajak yang dipungut harus berdsarkan undang-undang sehingga menjamin adanya
kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak
sebagai pembayar pajak.
Ciri pajak
Dari berbagai definisi yang diberikan
terhadap pajak baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber
dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak
adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri
yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut:
Pajak dipungut oleh negara baik
oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berdasarkan atas undang-undang
serta aturan pelaksanaannya.
Pemungutan pajak mengisyaratkan
adanya alih dana (sumber daya) dari sektor swasta (wajib pajak membayar pajak)
ke sektor negara (pemungut pajak/administrator pajak).
Pemungutan pajak diperuntukkan
bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi
pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
Tidak dapat ditunjukkan adanya
imbalan (kontraprestasi) individual oleh pemerintah terhadap pembayaran pajak
yang dilakukan oleh para wajib pajak.
Selain fungsi budgeter (anggaran)
yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup
pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat
untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan
sosial (fungsi mengatur / regulatif).
Fungsi pajak
Pajak mempunyai peranan yang
sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan
pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai
semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka
pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
Fungsi anggaran (budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara,
pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk
menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara
membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pahak. Dewasa ini
pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang,
pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang
dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi
pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus
ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan
ini terutama diharapkan dari sektor pajak.
Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur
pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak
bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka
menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan
berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi
dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar
negeri.
Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah
memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas
harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain
dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak,
penggunaan pajak yang efektif dan efesien.
Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh
negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga
untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada
akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
Syarat pemungutan pajak
Tidaklah mudah untuk membebankan
pajak pada masyarakat. Bola terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar
pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena
dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai maswalah, maka pemungutan
pajak harus memenuhi persyaratan yaitu:
Pemungutan pajak harus adil
Seperti halnya produk hukum pajak
pun mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak.
Adil dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya.
Contohnya:
Dengan mengatur hak dan kewajiban
para wajib pajak
Pajak diberlakukan bagi setiap
warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak
Sanksi atas pelanggaran pajak
diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya pelanggaran
Pengaturan pajak harus
berdasarkan UU
Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945
yang berbunyi: “Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur
dengan Undang-Undang”, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
penyusunan UU tentang pajak, yaitu:
Pemungutan pajak yang dilakukan
oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus dijamin kelancarannya
Jaminan hukum bagi para wajib
pajak untuk tidak diperlakukan secara umum
Jaminan hukum akan terjaganya
kerasahiaan bagi para wajib pajak
Pungutan pajak tidak mengganggu
perekonomian
Pemungutan pajak harus diusahakan
sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan
produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan
kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak,
terutama masyarakat kecil dan menengah.
Pemungutan pajak harus efesien
Biaya-biaya yang dikeluarkan
dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang
diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena
itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan.
Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran
pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu.
Sistem pemungutan pajak harus
sederhana
Bagaimana pajak dipungut akan
sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan
memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai
sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan
kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak
rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak.
Contoh:
Bea materai disederhanakan dari
167 macam tarif menjadi 2 macam tarif
Tarif PPN yang beragam
disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu 10%
Pajak perseorangan untuk badan
dan pajak pendapatan untuk perseorangan disederhanakan menjadi pajak
penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan maupun perseorangan (pribadi)
Asas pemungutan
Asas pemungutan pajak menurut pendapat para ahli
Untuk dapat mencapai tujuan dari
pemungutan pajak, beberapa ahli yang mengemukakan tentang asas pemungutan
pajak, antara lain:
Adam Smith, pencetus teori The
Four Maxims
1. Menurut
Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal “The
Four Maxims”, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut.
Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan): pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.
Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan): pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.
Asas Certainty
(asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga
bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.
Asas Convinience
of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan): pajak
harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pakak (saat yang paling baik),
misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib
pajak menerima hadiah.
Asas Effeciency (asas efesien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.
Asas Effeciency (asas efesien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.
2. Menurut
W.J. Langen, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut.
Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan.
Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.
Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan.
Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.
Asas
kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
Asas kesamaan:
dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang lain harus
dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama).
Asas beban yang
sekecil-kecilnya: pemungutan pajak diusahakan sekecil-kecilnya
(serendah-rendahnya) jika dibandinglan sengan nilai obyek pajak. Sehingga tidak
memberatkan para wajib pajak.
3. Menurut
Adolf Wagner, asas pemungutan pahak adalah sebagai berikut.
Asas politik finalsial : pajak yang dipungut negara jumlahnya memadadi sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara
Asas ekonomi: penentuan obyek pajak harus tepat Misalnya: pajak pendapatan, pajak untuk barang-barang mewah
Asas politik finalsial : pajak yang dipungut negara jumlahnya memadadi sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara
Asas ekonomi: penentuan obyek pajak harus tepat Misalnya: pajak pendapatan, pajak untuk barang-barang mewah
Asas keadilan
yaitu pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk kondisi yang
sama diperlakukan sama pula.
Asas administrasi:
menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan, dimana harus membayar pajak),
keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya) dan besarnya biaya pajak.
Asas yuridis segala pungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang.
Asas yuridis segala pungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang.
Asas Pengenaan Pajak
Agar negara dapat mengenakan
pajak kepada warganya atau kepada orang pribadi atau badan lain yang bukan
warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus
ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia, secara
tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala
pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undang-undang. Untuk dapat
menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas atau dasar-dasar
yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak.
Terdapat beberapa asas yang dapat
dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan
pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling
sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah:
Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence principle), berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduk-nya akan menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri (world-wide income concept).
Asas sumber, Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan penge¬naan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.
Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan (nationality/citizenship principle).Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan cara mengga¬bungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas world wide income.
Terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara asas domisili atau kependudukan dan asas nasionalitas atau kewarganegaraan di satu pihak, dengan asas sumber di pihak lainnya. Pertama, pada kedua asas yang disebut pertama, kriteria yang dijadikan landasan kewenangan negara untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akan dikenakan pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk atau berdomisili (dalam asas domisili) atau berstatus sebagai warga negara (dalam asas nasionalitas). Di sini, asal muasal penghasilan yang menjadi objek pajak tidaklah begitu penting. Sementara itu, pada asas sumber, yang menjadi landasannya adalah status objeknya, yaitu apakah objek yang akan dikenakan pajak bersumber dari negara itu atau tidak. Status dari orang atau badan yang memperoleh atau menerima penghasilan tidak begitu penting. Kedua, pada kedua asas yang disebut pertama, pajak akan dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh di mana saja (world-wide income), sedangkan pada asas sumber, penghasilan yang dapat dikenakan pajak hanya terbatas pada penghasilan-penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber yang ada di negara yang bersangkutan.
Kebanyakan negara, tidak hanya
mengadopsi salah satu asas saja, tetapi mengadopsi lebih dari satu asas, bisa
gabungan asas domisili dengan asas sumber, gabungan asas nasionalitas dengan
asas sumber, bahkan bisa gabungan ketiganya sekaligus.
Indonesia, dari
ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994,
khususnya yang mengatur mengenai subjek pajak dan objek pajak, dapat
disimpulkan bahwa Indonesia menganut asas domisili dan asas sumber sekaligus
dalam sistem perpajakannya. Indonesia juga menganut asas kewarganegaraan yang
parsial, yaitu khusus dalam ketentuan yang mengatur mengenai pengecualian
subjek pajak untuk orang pribadi.
Jepang, misalnya untuk individu
yang merupakan penduduk (resident individual) menggunakan asas domisili, di
mana berdasarkan asas ini seorang penduduk Jepang berkewajiban membayar pajak
penghasilan atas keseluruhan penghasilan yang diperolehnya, baik yang diperoleh
di Jepang maupun di luar Jepang. Sementara itu, untuk yang bukan penduduk
(non-resident) Jepang, dan badan-badan usaha luar negeri berkewajiban untuk
membayar pajak penghasilan atas setiap penghasilan yang diperoleh dari
sumber-sumber di Jepang.
Australia, untuk semua badan
usaha milik negara maupun swasta yang berkedudukan di Australia, dikenakan
pajak atas seluruh penghasilan yang diperoleh dari seluruh sumber penghasilan.
Semen¬tara itu, untuk badan usaha luar negeri, hanya dikenakan pajak atas penghasilan
dari sumber yang ada di Australia.
Teori pemungutan
Menurut R. Santoso Brotodiharjo
SH, dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak, ada beberapa teori yang mendasari
adanya pemungutan pajak, yaitu:
Teori asuransi, menurut teori ini, negara mempunyai tugas untuk melindungi warganya dari segala kepentingannya baik keselamatan jiwanya maupun keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan tersebut diperlukan biaya seperti layaknya dalam perjanjian asuransi deiperlukan adanya pembayaran premi. Pembayaran pajak ini dianggap sebagai pembayaran premi kepada negara. Teori ini banyajk ditentang karena negara tidak boleh disamakan dengan perusahaan asuransi.
Teori kepentingan, menurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah adanya kepentingan dari masing-masing warga negara. Termasuk kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan. Teori ini banyak ditentang, karena pada kenyataannya bahwa tingkat kepentingan perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya. Ada perlindungan jaminan sosial, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan orang yang miskin justru dibebaskan dari beban pajak.
Penerimaan Pajak di Indonesia
Target penerimaan negara
Indonesia di sektor pajak tahun 2006 secara nasional sebesar Rp 362 trilyun
atau mengalami peningkatan 20 persen dari 2005 lalu. Angka tersebut terdiri Rp
325 trilyun dari pajak dan Rp 37 trilyun dari Pajak Penghasilan (PPh) Migas.
Target penerimaan negara dari
perpajakan dalam APBN 2006 mencapai Rp.402,1 triliun. Target penerimaan itu
antara lain berasal dari:
Pajak Penghasilan (PPh) Rp.198,22 triliun
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) Rp.126,76 triliun
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp.15,67 triliun
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp.15,67 triliun
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) Rp.5,06 triliun
penerimaan pajak lainnya Rp.2,76 triliun.
penerimaan pajak lainnya Rp.2,76 triliun.
Pendapatan pajak itu sudah
termasuk pendapatan cukai Rp.36,1 triliun, bea masuk Rp.17,04 triliun dan
pendapatan pungutan ekspor Rp.398,1 miliar. Total penerimaan pajak dalam lima
tahun terakhir (2001-2005) sudah mencapai 1.040 triliun.
http://wijiraharjo.wordpress.com/2007/12/10/sejarah-perpajakan-indonesia-indonesian-tax-history/
www.perpustakaan.depkeu.go.id
(hanzcoudet)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar