Kamis, 23 Agustus 2012

Sejarah Korupsi




Korupsi diambil dari bahasa Latin yakni corruptio dari kata kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok.  Menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur perbuatan melawan hokum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi dan merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara.
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan), penggelapan dalam jabatan, pemerasan dalam jabatan, ikut serta dalam pengadaan bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara, menerima gratifikasi bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Kondisi yang mendukung munculnya korupsi meliputi konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik, kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah, kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal, proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar, lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”, lemahnya ketertiban hokum, lemahnya profesi hukum, kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa, gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil, rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum, ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau “sumbangan kampanye”.

Dampak negative

Demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
Ekonomi
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan.Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan “lapangan perniagaan”. Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain.
Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, diluar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.
Kesejahteraan umum Negara
Korupsi politis ada dibanyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus “pro-bisnis” ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
Bentuk-bentuk penyalahgunaan
Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan pemerintahan seperti penyogokan, pemerasan, campuran tangan, dan penipuan.
Penyogokan: penyogok dan penerima sogokan
Korupsi memerlukan dua pihak yang korup: pemberi sogokan (penyogok) dan penerima sogokan. Di beberapa negara, budaya penyogokan mencakup semua aspek hidup sehari-hari, meniadakan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat penyogokan.
Negara-negara yang paling sering memberikan sogokan pada umumnya tidak sama dengan negara-negara yang paling sering menerima sogokan.
Duabelas negara yang paling kurang korupsinya, menurut survey persepsi (anggapan ttg korupsi oleh rakyat) oleh Transparansi Internasional di tahun 2001 adalah sebagai berikut (disusun menurut abjad):
Australia, Kanada, Denmark, Finlandia, Islandia, Luxemburg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Singapura, Swedia, dan Swiss
Menurut survei persepsi korupsi , tigabelas negara yang paling korup adalah (disusun menurut abjad): Azerbaijan, Bangladesh, Bolivia, Kamerun, Indonesia,Irak, Kenya, Nigeria, Pakistan, Rusia, Tanzania, Uganda, dan Ukraina Namun demikian, nilai dari survei tersebut masih diperdebatkan karena ini dilakukan berdasarkan persepsi subyektif dari para peserta survei tersebut, bukan dari penghitungan langsung korupsi yg terjadi (karena survey semacam itu juga tidak ada)Di arena politik, sangatlah sulit untuk membuktikan korupsi, namun lebih sulit lagi untuk membuktikan ketidakadaannya. Maka dari itu, sering banyak ada gosip menyangkut politisi. Politisi terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka untuk meminta sumbangan keuangan untuk kampanye mereka. Sering mereka terlihat untuk bertindak hanya demi keuntungan mereka yang telah menyumbangkan uang, yang akhirnya menyebabkan munculnya tuduhan korupsi politis.
Tuduhan korupsi sebagai alat politik
Sering terjadi di mana politisi mencari cara untuk mencoreng lawan mereka dengan tuduhan korupsi. Di Republik Rakyat Cina, fenomena ini digunakan oleh Zhu Rongji, dan yang terakhir, oleh Hu Jintao untuk melemahkan lawan-lawan politik mereka.
Mengukur korupsi
Mengukur korupsi – dalam artian statistik, untuk membandingkan beberapa negara, secara alami adalah tidak sederhana, karena para pelakunya pada umumnya ingin bersembunyi. Transparansi Internasional, LSM terkemuka di bidang anti korupsi, menyediakan tiga tolok ukur, yang diterbitkan setiap tahun: Indeks Persepsi Korupsi (berdasarkan dari pendapat para ahli tentang seberapa korup negara-negara ini); Barometer Korupsi Global (berdasarkan survei pandangan rakyat terhadap persepsi dan pengalaman mereka dengan korupsi); dan Survei Pemberi Sogok, yang melihat seberapa rela perusahaan-perusahaan asing memberikan sogok. Transparansi Internasional juga menerbitkan Laporan Korupsi Global; edisi tahun 2004 berfokus kepada korupsi politis. Bank Dunia mengumpulkan sejumlah data tentang korupsi, termasuk sejumlah Indikator Kepemerintahan.  
Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalu 3(tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern sepertisekarang ini. Pertama, Fase Zaman Kerajaan. Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya,dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatursejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno. Coba saja kitalihat bagaimana Kerajaan Singosari yang memelihara perang antar saudara bahkan hinggatujuh turunan saling membalas dendam berebut kekuasaan. Lalu, kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang, ada jugaKerajaan Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnyasendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso (Amien Rahayu SS, Jejak Sejarah Korupsi Indonesia-Analis Informasi LIPI). Hal menarik lainnya pada fase zaman kerajaan ini adalah, mulaiterbangunnya watak opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu contohnya adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan “abdi dalem”. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja atausultan. Hal tersebut pula yang menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis yang padaakhirnya juga memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu besar dalam tatananpemerintahan kita dikmudian hari.Kedua, Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulaimasuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telahdibangun oleh para penjajah colonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budayakorupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah),tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabenemerupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerahterritorial tertentu. Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanenupeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri denganmenghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia. Secara eksplisit, sesungguhnya budayapenjajah yang mempraktekkan hegemoni dan dominasi ini, menjadikankan orang Indonesia juga tak segan menindas bangsanya sendiri lewat perilaku dan praktek korupsi-nya.Ketiga, Fase Zaman Modern. Fase perkembangan praktek korupsi di zaman modernseperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggupenjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh penjajah kolonial, tidak serta merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dannepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari prilaku pejabat-pejabat pemerintahan yangbahkan telah dimulai di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dantumbuh subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga saat ini. Indonesia tak ayal pernahmenduduki peringkat 5 (besar) Negara yang pejabatnya paling korup, bahkan hingga saat ini.Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk menghadapimasalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melaluibebrapa masa perubahan perundang- undangan. Keberadaan tindak pidana korupsi dalamhukum positif indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya kitabundang-undang hukum pidana 1 januari 1918. KUHP sebagai suatu kodifikasi dan unifikasiberlaku bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordansi dan diundangkandalam Staatblad 1915 nomor 752, tanggal 15 Oktober 1915.Selanjutnya setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan tanggal 17 agustus1945 keberadaan tindak pidana korupsi juga diatur dalam hukum positif Indonesia, padawaktu seluruh wilayah indonesia dinyatakan dalam keadaan perang berdasarkan UU nomor74 tahun 1957 jo nomor 79 tahun 1957. Baru setelah itu istilah yuridis korupsi digunakan,yaitu dengan adanya Peraturan Penguasa Militer yang berlaku di daerah kekuasaanAngakatan Darat (Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957). 

Beberapa peraturan yangmengatur mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia sebagai berikut :
1. Masa Peraturan Penguasa Militer, yang terdiri dari:
a. Pengaturan yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh PenguasaMiliter Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat.Rumusan korupsi menurut perundang- undangan ini ada dua yaitu, tiap perbuatanyang dilakukan oleh siapa pun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian. Tiap perbuatan yangdilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yangmenerima bantuan dari keuangan negara atau daerah yang dengan mempergunakankesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatanlangsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan material baginya.
b. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 berisi tentang pembentukanbadan yang berwenang mewakili negara untuk menggugat secara perdata orang-orang yang dituduh melakukan berbagai bentuk perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan (perbuatan korupsi lainnya lewat Pengadilan Tinggi. Badan yangdimaksud adalah Pemilik Harta Benda (PHB).
c. Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957 merupakan peraturan yangmenjadi dasar hukum dari kewenangan yang dimiliki oleh Pemilik Harta Benda(PHB) untuk melakukan penyitaan harta benda yang dianggap hasil perbuatan korupsilainnya, sambil menunggu putusan dari Pengadilan Tinggi.
2. Masa Undang- Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan,dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
3. Masa Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI 2958) tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Masa Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI 387), tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan undang- UndangNomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI 4150), tentang Perubahan atasUndang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi. 
Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang- UndangNomor 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137. TNLRI 4250) tentang KomisiPemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Dasar hukum dari munculnya peraturan di luar Kitab Undang- Undang hukum Pidana(KUHP) di atas adalah Pasal 103 KUHP. Dengan kata lain Pasal 103 KUHP memungkinkansuatu ketentuan perundang- undangan di luar KUHP untuk mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam KUHP.Jika ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak peraturanperundang- undangan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi. Diantaranya adaKUHP, Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsibeserta revisinya melalui Undang- Undang Nomor 20 tahun 2001, bahkan sudah ada KomisiPemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang- UndangNomor 30 Tahun 2002. Secara substansi Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 telah mengatur berbagai aspek yang kiranya dapat menjerat berbagai modus operandi tindak pidana korupsi yangsemakin rumit. Dalam Undang- Undang ini tindak pidana korupsi telah dirumuskan sebagaitindak pidana formil, pengertian pegawai negeri telah diperluas, pelaku korupsi tidak didefenisikan hanya kepada orang perorang tetapi juga pada korporasi, sanksi yang dipergunakanadalah sanksi minimum sampai pidana mati, seperti yang tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3undang- undang tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan telah puladilengkapi dengan pengaturan mengenai kewenangan penyidik, penuntut umumnya hingga hakim yang memeriksa di sidang pengadilan. Bahkan, dalam segi pembuktian telah diterapkanpembuktian tebalik secara berimbang dan sebagai kontrol, undang- undang ini dilengkapi denganPasal 41 pengaturan mengenai peran serta masyarakat, kemudian dipertegas dengandikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara PelaksanaanPeran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan PemberantasanTindak Pidana Korupsi. Selain itu pengaturan tindak pidana korupsi dilakukan melalui kerja samadengan dunia Internasioanal. Hal ini dilakukan dengan cara menandatangani konvensi PBBtentang anti korupsi yang memberikan peluang untuk mengembalikan aset- aset para koruptoryang di bawa lari ke luar negeri. Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia akan diuntungkandengan penanda tangan jonvensi ini.
Berdasarkan tulisan dari Amien Rahayu, seorang analis Sejarah LIPI dalam “Jejak Sejarah Korupsi Indonesia”, bahwa mulai jaman-jaman kerajaan, budaya korupsi dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya, Majapahit dan Mataram adalah karena perilaku korup dari sebagian besar bangsawannya. Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-budaya korupsi” yang tiada henti karena disorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita.
Mungkin kita pernah mendengan bahwa strategi jitu Belanda atau VOC untuk menguasai Nusantara adalah dengan politik pecah belah atau disebut juga politik devide et impera. Tapi jika diteliti lebih dalam lagi [ersoalan atau penyebab utama mudahnya bangsa asimg (Belanda) mampu menjajah Indonesia selama  kurang lebih 350 tahun adalah karena perilaku elit bangsawan yang korup, leih suka memperkaya diri sendiri dan keluarganya, kurang mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan “character building”, mengabaikan hukum apalagi demokrasi. Terlebih lagi sebagian besar penduduk di nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu, dan yang lebih parah mudah diadu domba.
Penjajah asing memahami betul akar “buadaya korup” yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia, maka melalui politik “devide et impera” mereka dengan mudah menaklukkan nusantara. Bahkan dalam buku yang berjudul History of Java karya Thomas Stanford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah pulau Jawa 1811-1816, terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan yang luar biasabaik di kalangan bangsawan, pribumi, maupun bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan berbagai aspek budaya jawa. Hal menarik dalam buku tersebut adalah pembahasan seputar karakter penduduk jawa. Penduduk jawa digambarkan sangat pasrah dengan keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai orang lain, tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil suatu keuntungan  atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui.
Hal menarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak  (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem tersebut lebih suka mendapat atau encari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem suka mencari atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihormati, diharga dan tidak suka menerima kritik dan saran. Kritik dan saran yang disampaikan di muka umum lebih dipandang sebagai tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu, budaya kekuasaan di Nusantara(khususnya Jawa) cenderung otoriter. Dalam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak penguasa.
Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan budaya korupsi di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan korup dalam mengambil upeti atau pajak dari rakyat yang akan diserahkan kepada demang atau lurah, selanjutnya oleh demang tersebut akan diserahkan kepada tumenggung. Abdi dalem setingkat kabupaten atau provinsi juga mengorup harta yang akan diserahkan kepada raja atau sultan.
Menurut Amien Rahayu alasan mereka dapat mengorup adalah karena saat itu belum ada standar satuan hitung di saping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih kabur.
Sebagai contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian namun ukuran standar upeti beberapa daerah juga berbeda-beda baik satuan barang, volume, dan beratnya apalagi harganya. Beberapa alasan itulah yang mendorong atau menyebabkan para pengumpul pajak cenderung berperilaku “memaksa” rakyat kecil, di pihak lain menambah “bebn” kewajiban rakyat terhadap jenis atau volume komoditas yang harus diserahkan.
Sanking luar biasanya budaya korupsi oleh bangsawan dan manusia nusantara, seakan diajari, maka penjajah pun terpengaruh untuk meniru dan megadopsinya dalam perilaku mereka. Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh raja awa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara dari 1800-1942 minus Zaman Inggriis dari 1811-1816, akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda.
Di era sekarang, meskipun negara sudah mendeklarasikan reformasi dalam segala bidang, korupsi bukanlah ssuatu yang mudah untuk dihilangkan. Gambaran tingginya tingkat korupsi di Indonesia dapat dilihat dari berbagai penelitian, dan survei yang secara reguler dilakukan oleh banyak lembaga, baik dalam skala nasional maupun internasional. Merujuk Indeks Persepdi Korupsi (IPK) thun 2006, dari 163 negara yang disurvei oleh Transparancy Internasional, Indonesia menempati peringkat ke-7 negara terkorup di dunia dengan IPK 2,4 yang sedikit meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 2,25. Survei IPK TI tahun 2007 menempatkan kembali Indonesia sebagai negara yang dipersepsikan masih sangat korup. Bahkan nilai IPK 2007 sampai mencapai angka 2,3. Dalam lingkup yang lebih kecil survei yang dilakuakn oleh Political and Economic Risk Consoultancy (PERC) tahun 2006, menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup ke-2 di Asia. Survei terbaru PERC tahun 2008 masih menmpatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia. Skor PERC untuk Indonesia pada tahun 2008 adalah 7.98 lebih baik dibanding 2007 yang mencapai angka sebesar 8,03.
Sebagai sesuatu yang telah berlangsung ratusan tahun yang lalu dan berlaku secara meluas maka upaya pemberantasan korupsi dan menjerat koruptor merupakan tantangan yang sangat berat. KPK sebagai institusi yang sekarang masih mendapatkan kepercayaan publik perlu bekerja ekstra keras. Harus disadari bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya untuk memenjarakan koruptor namun juga adalah pekerjaan sejarah guna mencabut budaya kotor bangsa yang sudah akut. KPK dibentuk dengan UU no.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedudukan hukum KPK meimiliki tingkat legitimasi yang tinggi karena memang dibantuk dengan UU.
Banyak kalangan yang gemas dengan semakin meng”gurita”nya koeupsi, mulai dari masyarakat bisa saat melihat koruptifnya birokrasi dalam mengurus hal-hal administrasi kecil bahkan sampai pakar dan pelaku yang selalu menekankan pada pengembalian tujuan bernegara yang bermartabat. Kwik Kian Gie menyatakan bahwa virus KKN sudah merasuk ke dalam otak dan emosi koruptor sehingga mereka menderita penyakit jiwa yang dinamakan make believe. Koruptor berfantasi dan lambat laun percaya bahwa fantasinya adalah nyata. Mereka berfantasi bahwa mereka dibolehkan oleh Tuhan untuk ber-KKN asalkan tetap ke tempat ibadah dan semakin fanatik, semakin boleh melakukan apa saja.
Menyikapi parahnya koruptor dan perilaku koruptif di negeri yang beragama ini menimbulkan keprihatinan organisasi massa muslim seperti NU dan Muhammadiyah. Bahkan, keseriusan untuk berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi dituangkan dalam buku-buku resmi misalnya NU menerbitkan “NU melawan Korupsi: Kajian Tafsir dan Fiqh”. Buku ini secara khusus berupaya untuk memberikan kerangka dasar yang bisa dijadikan renungan dan sandaran untuk melakukan pemberantasan korupsi melalui jalur pendekatan ajaran agama Islam. Tidak hanya itu, kemudian dimunculkan fatwa haram korupsi dan mendesak keras melalui gerakan advokasi untuk segera mneyelesaikan kasus mega korupsi BLBI.
Melihat kenyataan di atas maka ada baiknya kita ingat kembali analisi dari Jeremy Pope, yakni terdapat keyakinan bahwa dalam sebuah sistem dimana korupsi telah menjadi endemik, mekanisme penegakan hukum yang konvesional justru akan menutupi pejabat-pejabat yang korup. Badan-badan konvensional yang bertindak menegakkan hukum menjadi semakin tidak mampu untuk mendeteksi dan menuntut kasus-kasus korupsi yang kompleks.
Sekali lagi, perlu ditegaskan bahwa pembentukan KPK dengan UU no.30 tahun 2002 tentak Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah angin segar diantara bau busuk korupsi di negeri mafia korupsi ini. Seperti kita ingat, gebrakan awal KPK dimulai dengan memroses dan emmenjarakan mantan gubernur NAD Abdullah Puteh kemudian dilanjutkan dengan gebrakan terhadap Komisi Pemilihan Umum dan seterusnya diharapkan gebrakan final hingga matinya korupsi di Indonesia. Perlu direnungksn ucapan Kwik Kian Gie dalam buku berjudul “Pikiran Yang Terkorupsi” bahwa selama manusianya masih korup, pembentukan lembaga, penentuan prosedur dan apapun juga selalu dapat diselewengkan dalam pelaksanaannya. Otak, akal, daya inovasi, dan daya kreasi manusia sangat dahsyat. Mereka senantiasa akan menemukan cara agar korupsinya sangat sulit dibuktikan.

BUDAYA KORUPSI DI MASA LALU
Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api.
Sejarawan di Indonesia umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren dan Binenland Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sejarawan lebih tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam “budaya korupsi” yang sudah mendarah daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan “perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain” dan banyak menimbulkan tragedi yang teramat dahsyat.
Era Sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadfnya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.
Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa mereka saling berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif ekonomi – memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan – belum nampak di permukaan “Wajah Sejarah Indonesia”.
Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.
Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.
Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal karena faktor intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan Mataram. Namun apakah sudah adayang meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu menjajah Indonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah Nasional?), lebih karena perilaku elit bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan “character building”, mengabaikan hukum apalagi demokrasi Terlebih lagi sebagian besar penduduk di Nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah diadu domba.
Belanda memahami betul akar “budaya korup” yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia, maka melalui politik “Devide et Impera” mereka dengan mudah menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada berakhir, serta “berintegrasi’ seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris “belum mengenal” atau belum memahaminya.
Perilaku “korup” bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar “mengkorup” harta-harta Korpsnya, institusi atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau diperkirakan termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan orang Belanda juga gemar korup.
Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan yang “luar biasa” baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya meliputi situasi geografi, nama-nama daerah, pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim, kandungan mineral, flora dan fauna, karakter dan komposisi penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-lain.
Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat “nrimo” atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui.
Hal rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran. Kritik dan saran yang disarnpaikan di muka umum lebih dipandang sebagai tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu budaya kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung otoriter. Daiam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak “penguasa”.
Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan “korup” dalam mengambil “upeti” (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup (walaupun sedikit) harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.
Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang standar, di samping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dn Kopi. Namun ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda baik satuan barang, volume dan beratnya, apalagi harganya. Beberapa alasan itulah yang mendorong atau menye-babkan para pengumpul pajak cenderung berperilaku “memaksa” rakyat kecil, di pihak lain menambah “beban” kewajiban rakyat terhadap jenis atau volume komoditi yang harus diserahkan.
Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 – 1942) minus Zaman Inggris (1811 – 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 – 1904) dan lain-lain. Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cuituur Stelsel (CS)” yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.
Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat “manusiawi” dan sangat “beradab”, namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya “Sistem Pemaksaan”. Itu sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan “Sistem Pembudayaan” menjadi “Tanam Paksa”.
Seperti apakah bentuk-bentuk pelang-garan CS tersebut? Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1.       Penduduk diwajibkan menanam 1/5 dari tanah miliknya dengan tanaman yang laku dijual di pasar internasional (Kopi, Tembakau, Cengkeh, Kina, Tebu dan boleh juga Padi, bukan seperti sebelumnya yang lebih suka ditanam penduduk yaitu pete, jengkol, sayur-sayuran, padi dan lain-lain). Namun praktiknya ada yang dipaksa oleh “Belanda Item” (orang Indonesia yang bekerja untuk Belanda) menjdi 2/5, 4/5 dan ada yang seluruh lahan ditanami dengan tanaman kesukaan Belanda
2.       Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang sering meng-korup belum tentu Belanda)
3.       Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di perkebunan atau perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan). Namun, praktiknya ada yang sampai 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang tertangkap karena berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman cambuk (poenali sanksi).
4.       Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi) maka segala kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun praktik di lapangan, penduduk tetap menanggung beban itu yang diperhitungkan pada tahun berikutnya.
5.       Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi kuota, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Namun praktiknya dimakan oleh “Belanda Item” atau para pengumpul.
6.       Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun pelaksanaannya justru lebih banyak dilakukan oleh “Belanda Item” yang karakternya kadang-kadang jauh lebih kejam, bengis dan tidak mengenal kornpromi.

Era Pasca Kemerdekaan
Bagaimana sejarah “budaya korupsi” khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya “Budaya korupsi” yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.
Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa ditemukan.
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda).
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, “prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain”.
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
Era Orde Baru
Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.
Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara “konkesuen” alias “kelamaan”.
Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.
Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.
Pelajaran apa yang bisa ditarik dari uraian ini? Ternyata upaya untuk memberantas korupsi tidak semudah memba-likkan tangan. Korupsi bukan hanya menghambat proses pembangunan negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan rakyat. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintahan rnenjadi faktor penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari rakyat. 

http://maulanusantara.wordpress.com/2009/12/09/sejarah-korupsi-di-indonesia/
http://formak.or.id/2012/02/20/sejarah-korupsi-dan-hari-anti-korupsi-se-dunia/
http://lidya-novita.blogspot.com/2012/07/sejarah-korupsi-nusantara.html
http://ml.scribd.com/doc/89885905/SEJARAH-KORUPSI
www.perpustakaan.depkeu.go.id



1 komentar:

  1. Did you know that you can earn money by locking premium pages of your blog / site?
    All you need to do is open an account with AdWorkMedia and embed their content locking tool.

    BalasHapus