Korupsi
diambil dari bahasa Latin yakni corruptio
dari kata kerja corrumpere yang
berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Menurut
Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik
politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak
legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dari
sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup
unsur-unsur perbuatan melawan hokum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan,
atau sarana, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi dan merugikan
keuangan negara atau perekonomian Negara.
Selain
itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya
memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan), penggelapan dalam jabatan,
pemerasan dalam jabatan, ikut serta dalam pengadaan bagi pegawai negeri atau penyelenggara
Negara, menerima gratifikasi bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Dalam
arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan
korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling
ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima
pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik
ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para
pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi
yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat,
terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal
seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu
sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini
dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan
kriminalitas|kejahatan.
Tergantung
dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap
korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di
satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Kondisi
yang mendukung munculnya korupsi meliputi konsentrasi kekuasan di pengambil
keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang
sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik, kurangnya transparansi di
pengambilan keputusan pemerintah, kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan
pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal, proyek yang
melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar, lingkungan tertutup yang
mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”, lemahnya ketertiban hokum,
lemahnya profesi hukum, kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media
massa, gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil, rakyat yang cuek, tidak
tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke
pemilihan umum, ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan
atau “sumbangan kampanye”.
Dampak negative
Demokrasi
Korupsi
menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik,
korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance)
dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan
legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan
kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan
korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan
masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah,
karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau
dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi
mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan
toleransi.
Ekonomi
Korupsi
juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan
pemerintahan.Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat
distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi
meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos
manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan perjanjian
atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi
ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul
berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat
aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos
niaga, korupsi juga mengacaukan “lapangan perniagaan”. Perusahaan yang memiliki
koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan
perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi
menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan
investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah
tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat
untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak
kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan,
lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas
pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan
terhadap anggaran pemerintah.
Para
pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan
pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang
berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital
investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka
adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki
rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto
yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih
memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur,
ketertiban hukum, dan lain-lain.
Pakar
dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996,
pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi
dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. (Hasilnya, dalam artian
pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu
teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya
adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru
sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini
memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar
negeri, diluar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.
Kesejahteraan umum Negara
Korupsi
politis ada dibanyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya.
Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi
sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus
membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan
perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus “pro-bisnis” ini hanya mengembalikan
pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada
kampanye pemilu mereka.
Bentuk-bentuk penyalahgunaan
Korupsi
mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan
nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan
pemerintahan seperti penyogokan, pemerasan, campuran tangan, dan penipuan.
Penyogokan: penyogok dan penerima
sogokan
Korupsi
memerlukan dua pihak yang korup: pemberi sogokan (penyogok) dan penerima
sogokan. Di beberapa negara, budaya penyogokan mencakup semua aspek hidup
sehari-hari, meniadakan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat penyogokan.
Negara-negara
yang paling sering memberikan sogokan pada umumnya tidak sama dengan
negara-negara yang paling sering menerima sogokan.
Duabelas
negara yang paling kurang korupsinya, menurut survey persepsi (anggapan ttg
korupsi oleh rakyat) oleh Transparansi Internasional di tahun 2001 adalah
sebagai berikut (disusun menurut abjad):
Australia,
Kanada, Denmark, Finlandia, Islandia, Luxemburg, Belanda, Selandia Baru,
Norwegia, Singapura, Swedia, dan Swiss
Menurut
survei persepsi korupsi , tigabelas negara yang paling korup adalah (disusun
menurut abjad): Azerbaijan, Bangladesh, Bolivia, Kamerun, Indonesia,Irak,
Kenya, Nigeria, Pakistan, Rusia, Tanzania, Uganda, dan Ukraina Namun demikian,
nilai dari survei tersebut masih diperdebatkan karena ini dilakukan berdasarkan
persepsi subyektif dari para peserta survei tersebut, bukan dari penghitungan
langsung korupsi yg terjadi (karena survey semacam itu juga tidak ada)Di arena
politik, sangatlah sulit untuk membuktikan korupsi, namun lebih sulit lagi
untuk membuktikan ketidakadaannya. Maka dari itu, sering banyak ada gosip
menyangkut politisi. Politisi terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka
untuk meminta sumbangan keuangan untuk kampanye mereka. Sering mereka terlihat
untuk bertindak hanya demi keuntungan mereka yang telah menyumbangkan uang,
yang akhirnya menyebabkan munculnya tuduhan korupsi politis.
Tuduhan korupsi sebagai alat
politik
Sering
terjadi di mana politisi mencari cara untuk mencoreng lawan mereka dengan
tuduhan korupsi. Di Republik Rakyat Cina, fenomena ini digunakan oleh Zhu
Rongji, dan yang terakhir, oleh Hu Jintao untuk melemahkan lawan-lawan politik
mereka.
Mengukur korupsi
Mengukur
korupsi – dalam artian statistik, untuk membandingkan beberapa negara, secara
alami adalah tidak sederhana, karena para pelakunya pada umumnya ingin
bersembunyi. Transparansi Internasional, LSM terkemuka di bidang anti korupsi,
menyediakan tiga tolok ukur, yang diterbitkan setiap tahun: Indeks Persepsi
Korupsi (berdasarkan dari pendapat para ahli tentang seberapa korup
negara-negara ini); Barometer Korupsi Global (berdasarkan survei pandangan
rakyat terhadap persepsi dan pengalaman mereka dengan korupsi); dan Survei
Pemberi Sogok, yang melihat seberapa rela perusahaan-perusahaan asing
memberikan sogok. Transparansi Internasional juga menerbitkan Laporan Korupsi
Global; edisi tahun 2004 berfokus kepada korupsi politis. Bank Dunia
mengumpulkan sejumlah data tentang korupsi, termasuk sejumlah Indikator
Kepemerintahan.
Secara
garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalu 3(tiga)
fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern
sepertisekarang ini. Pertama, Fase Zaman Kerajaan. Budaya korupsi di Indonesia
pada prinsipnya,dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan
dan kekayaan. Literatursejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman
kerajaan-kerajaan kuno. Coba saja kitalihat bagaimana Kerajaan Singosari yang
memelihara perang antar saudara bahkan hinggatujuh turunan saling membalas
dendam berebut kekuasaan. Lalu, kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan
antara Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang, ada jugaKerajaan Banten yang
memicu Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnyasendiri, yaitu
Sultan Ageng Tirtoyoso (Amien Rahayu SS, Jejak Sejarah Korupsi Indonesia-Analis
Informasi LIPI). Hal menarik lainnya pada fase zaman kerajaan ini adalah,
mulaiterbangunnya watak opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu contohnya
adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan
“abdi dalem”. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu
bersikap manis untuk menarik simpati raja atausultan. Hal tersebut pula yang
menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis yang padaakhirnya juga memiliki
potensi jiwa yang korup yang begitu besar dalam tatananpemerintahan kita
dikmudian hari.Kedua, Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek
korupsi telah mulaimasuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik
bangsa kita. Budaya korupsi telahdibangun oleh para penjajah colonial (terutama
oleh Belanda) selama 350 tahun. Budayakorupsi ini berkembang dikalangan
tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk
menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah),tumenggung
(setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang
notabenemerupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan
mengawasi daerahterritorial tertentu. Mereka yang diangkat dan dipekerjakan
oleh Belanda untuk memanenupeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah
Belanda untuk memperkaya diri denganmenghisap hak dan kehidupan rakyat
Indonesia. Secara eksplisit, sesungguhnya budayapenjajah yang mempraktekkan
hegemoni dan dominasi ini, menjadikankan orang Indonesia juga tak segan
menindas bangsanya sendiri lewat perilaku dan praktek korupsi-nya.Ketiga, Fase
Zaman Modern. Fase perkembangan praktek korupsi di zaman modernseperti sekarang
ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggupenjajahan.
Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh penjajah kolonial, tidak serta
merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya
korupsi, kolusi dannepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari prilaku
pejabat-pejabat pemerintahan yangbahkan telah dimulai di era Orde lama
Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dantumbuh subur di pemerintahan Orde
Baru Soeharto hingga saat ini. Indonesia tak ayal pernahmenduduki peringkat 5
(besar) Negara yang pejabatnya paling korup, bahkan hingga saat ini.Di
Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk menghadapimasalah
korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan
melaluibebrapa masa perubahan perundang- undangan. Keberadaan tindak pidana
korupsi dalamhukum positif indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama, yaitu
sejak berlakunya kitabundang-undang hukum pidana 1 januari 1918. KUHP sebagai
suatu kodifikasi dan unifikasiberlaku bagi semua golongan di Indonesia sesuai
dengan asas konkordansi dan diundangkandalam Staatblad 1915 nomor 752, tanggal
15 Oktober 1915.Selanjutnya setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan
tanggal 17 agustus1945 keberadaan tindak pidana korupsi juga diatur dalam hukum
positif Indonesia, padawaktu seluruh wilayah indonesia dinyatakan dalam keadaan
perang berdasarkan UU nomor74 tahun 1957 jo nomor 79 tahun 1957. Baru setelah
itu istilah yuridis korupsi digunakan,yaitu dengan adanya Peraturan Penguasa
Militer yang berlaku di daerah kekuasaanAngakatan Darat (Peraturan Militer
Nomor PRT/PM/06/1957).
Beberapa peraturan yangmengatur
mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia sebagai berikut :
1. Masa
Peraturan Penguasa Militer, yang terdiri dari:
a. Pengaturan
yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh PenguasaMiliter Angkatan
Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat.Rumusan korupsi menurut
perundang- undangan ini ada dua yaitu, tiap perbuatanyang dilakukan oleh siapa
pun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau
untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan
kerugian keuangan atau perekonomian. Tiap perbuatan yangdilakukan oleh seorang
pejabat yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yangmenerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah yang dengan mempergunakankesempatan atau kewenangan
atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatanlangsung atau tidak
langsung membawa keuntungan keuangan material baginya.
b. Peraturan
Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 berisi tentang pembentukanbadan yang
berwenang mewakili negara untuk menggugat secara perdata orang-orang yang
dituduh melakukan berbagai bentuk perbuatan korupsi yang
bersifat keperdataan (perbuatan korupsi lainnya lewat Pengadilan Tinggi.
Badan yangdimaksud adalah Pemilik Harta Benda (PHB).
c.
Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957 merupakan peraturan
yangmenjadi dasar hukum dari kewenangan yang dimiliki oleh Pemilik Harta
Benda(PHB) untuk melakukan penyitaan harta benda yang dianggap hasil perbuatan
korupsilainnya, sambil menunggu putusan dari Pengadilan Tinggi.
2. Masa
Undang- Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan,dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
3. Masa
Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI 2958)
tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Masa
Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI 387), tentangPemberantasan
Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan undang- UndangNomor 20 Tahun 2001
(LNRI 2001-134, TNLRI 4150), tentang Perubahan atasUndang- Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi.
Selanjutnya
pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang- UndangNomor 30 Tahun 2002
(LNRI 2002-137. TNLRI 4250) tentang KomisiPemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.Dasar hukum dari munculnya peraturan di luar Kitab Undang- Undang hukum
Pidana(KUHP) di atas adalah Pasal 103 KUHP. Dengan kata lain Pasal 103 KUHP
memungkinkansuatu ketentuan perundang- undangan di luar KUHP untuk
mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam KUHP.Jika ditinjau
dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak peraturanperundang-
undangan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi. Diantaranya
adaKUHP, Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsibeserta revisinya melalui Undang- Undang Nomor 20 tahun 2001, bahkan sudah
ada KomisiPemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan
Undang- UndangNomor 30 Tahun 2002. Secara substansi Undang- undang Nomor 31
Tahun 1999 telah mengatur berbagai aspek yang kiranya dapat menjerat berbagai
modus operandi tindak pidana korupsi yangsemakin rumit. Dalam Undang- Undang
ini tindak pidana korupsi telah dirumuskan sebagaitindak pidana formil,
pengertian pegawai negeri telah diperluas, pelaku korupsi tidak didefenisikan
hanya kepada orang perorang tetapi juga pada korporasi, sanksi yang
dipergunakanadalah sanksi minimum sampai pidana mati, seperti yang tercantum
dalam pasal 2 dan pasal 3undang- undang tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi dan telah puladilengkapi dengan pengaturan mengenai kewenangan penyidik,
penuntut umumnya hingga hakim yang memeriksa di sidang pengadilan. Bahkan,
dalam segi pembuktian telah diterapkanpembuktian tebalik secara berimbang dan
sebagai kontrol, undang- undang ini dilengkapi denganPasal 41 pengaturan
mengenai peran serta masyarakat, kemudian dipertegas dengandikeluarkannya
Peraturan Pemerintah nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara PelaksanaanPeran
Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan
PemberantasanTindak Pidana Korupsi. Selain itu pengaturan tindak pidana korupsi
dilakukan melalui kerja samadengan dunia Internasioanal. Hal ini dilakukan
dengan cara menandatangani konvensi PBBtentang anti korupsi yang memberikan
peluang untuk mengembalikan aset- aset para koruptoryang di bawa lari ke luar
negeri. Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia akan diuntungkandengan
penanda tangan jonvensi ini.
Berdasarkan
tulisan dari Amien Rahayu, seorang analis Sejarah LIPI dalam “Jejak Sejarah
Korupsi Indonesia”, bahwa mulai jaman-jaman kerajaan, budaya korupsi dilatarbelakangi
oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Sebenarnya
kehancuran kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya, Majapahit dan Mataram
adalah karena perilaku korup dari sebagian besar bangsawannya. Sejarah sebelum
Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-budaya korupsi” yang tiada henti
karena disorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita.
Mungkin
kita pernah mendengan bahwa strategi jitu Belanda atau VOC untuk menguasai
Nusantara adalah dengan politik pecah belah atau disebut juga politik devide et
impera. Tapi jika diteliti lebih dalam lagi [ersoalan atau penyebab utama
mudahnya bangsa asimg (Belanda) mampu menjajah Indonesia selama kurang
lebih 350 tahun adalah karena perilaku elit bangsawan yang korup, leih suka
memperkaya diri sendiri dan keluarganya, kurang mengutamakan aspek pendidikan
moral, kurang memperhatikan “character building”, mengabaikan hukum apalagi
demokrasi. Terlebih lagi sebagian besar penduduk di nusantara tergolong miskin,
mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu, dan yang lebih parah mudah
diadu domba.
Penjajah
asing memahami betul akar “buadaya korup” yang tumbuh subur pada bangsa
Indonesia, maka melalui politik “devide et impera” mereka dengan mudah
menaklukkan nusantara. Bahkan dalam buku yang berjudul History of Java karya
Thomas Stanford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah pulau Jawa
1811-1816, terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan yang luar biasabaik di
kalangan bangsawan, pribumi, maupun bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas
memaparkan berbagai aspek budaya jawa. Hal menarik dalam buku tersebut adalah
pembahasan seputar karakter penduduk jawa. Penduduk jawa digambarkan sangat
pasrah dengan keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih
dihargai orang lain, tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan
termasuk mengambil suatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain
tidak mengetahui.
Hal
menarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara
sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem tersebut lebih suka
mendapat atau encari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem suka mencari
atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka
disanjung, dihormati, diharga dan tidak suka menerima kritik dan saran. Kritik
dan saran yang disampaikan di muka umum lebih dipandang sebagai tantangan atau
perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu, budaya kekuasaan di
Nusantara(khususnya Jawa) cenderung otoriter. Dalam aspek ekonomi, raja dan
lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat.
Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa
kata, kemauan atau kehendak penguasa.
Budaya
yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan budaya korupsi
di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan korup dalam mengambil
upeti atau pajak dari rakyat yang akan diserahkan kepada demang atau lurah,
selanjutnya oleh demang tersebut akan diserahkan kepada tumenggung. Abdi dalem
setingkat kabupaten atau provinsi juga mengorup harta yang akan diserahkan
kepada raja atau sultan.
Menurut
Amien Rahayu alasan mereka dapat mengorup adalah karena saat itu belum ada
standar satuan hitung di saping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak
juga masih kabur.
Sebagai
contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian namun ukuran standar upeti
beberapa daerah juga berbeda-beda baik satuan barang, volume, dan beratnya
apalagi harganya. Beberapa alasan itulah yang mendorong atau menyebabkan para
pengumpul pajak cenderung berperilaku “memaksa” rakyat kecil, di pihak lain
menambah “bebn” kewajiban rakyat terhadap jenis atau volume komoditas yang
harus diserahkan.
Sanking
luar biasanya budaya korupsi oleh bangsawan dan manusia nusantara, seakan
diajari, maka penjajah pun terpengaruh untuk meniru dan megadopsinya dalam
perilaku mereka. Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan
oleh raja awa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara dari 1800-1942
minus Zaman Inggriis dari 1811-1816, akibat kebijakan itulah banyak terjadi
perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda.
Di
era sekarang, meskipun negara sudah mendeklarasikan reformasi dalam segala
bidang, korupsi bukanlah ssuatu yang mudah untuk dihilangkan. Gambaran
tingginya tingkat korupsi di Indonesia dapat dilihat dari berbagai penelitian,
dan survei yang secara reguler dilakukan oleh banyak lembaga, baik dalam skala
nasional maupun internasional. Merujuk Indeks Persepdi Korupsi (IPK) thun 2006,
dari 163 negara yang disurvei oleh Transparancy Internasional, Indonesia
menempati peringkat ke-7 negara terkorup di dunia dengan IPK 2,4 yang sedikit
meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 2,25. Survei IPK TI tahun 2007
menempatkan kembali Indonesia sebagai negara yang dipersepsikan masih sangat korup.
Bahkan nilai IPK 2007 sampai mencapai angka 2,3. Dalam lingkup yang lebih kecil
survei yang dilakuakn oleh Political and Economic Risk Consoultancy (PERC)
tahun 2006, menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup ke-2 di Asia. Survei
terbaru PERC tahun 2008 masih menmpatkan Indonesia sebagai negara terkorup di
Asia. Skor PERC untuk Indonesia pada tahun 2008 adalah 7.98 lebih baik
dibanding 2007 yang mencapai angka sebesar 8,03.
Sebagai
sesuatu yang telah berlangsung ratusan tahun yang lalu dan berlaku secara
meluas maka upaya pemberantasan korupsi dan menjerat koruptor merupakan
tantangan yang sangat berat. KPK sebagai institusi yang sekarang masih
mendapatkan kepercayaan publik perlu bekerja ekstra keras. Harus disadari bahwa
pemberantasan korupsi bukan hanya untuk memenjarakan koruptor namun juga adalah
pekerjaan sejarah guna mencabut budaya kotor bangsa yang sudah akut. KPK
dibentuk dengan UU no.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Kedudukan hukum KPK meimiliki tingkat legitimasi yang tinggi karena
memang dibantuk dengan UU.
Banyak
kalangan yang gemas dengan semakin meng”gurita”nya koeupsi, mulai dari
masyarakat bisa saat melihat koruptifnya birokrasi dalam mengurus hal-hal
administrasi kecil bahkan sampai pakar dan pelaku yang selalu menekankan pada
pengembalian tujuan bernegara yang bermartabat. Kwik Kian Gie menyatakan bahwa
virus KKN sudah merasuk ke dalam otak dan emosi koruptor sehingga mereka
menderita penyakit jiwa yang dinamakan make believe. Koruptor berfantasi dan
lambat laun percaya bahwa fantasinya adalah nyata. Mereka berfantasi bahwa
mereka dibolehkan oleh Tuhan untuk ber-KKN asalkan tetap ke tempat ibadah dan
semakin fanatik, semakin boleh melakukan apa saja.
Menyikapi
parahnya koruptor dan perilaku koruptif di negeri yang beragama ini menimbulkan
keprihatinan organisasi massa muslim seperti NU dan Muhammadiyah. Bahkan,
keseriusan untuk berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi dituangkan dalam
buku-buku resmi misalnya NU menerbitkan “NU melawan Korupsi: Kajian Tafsir dan
Fiqh”. Buku ini secara khusus berupaya untuk memberikan kerangka dasar yang
bisa dijadikan renungan dan sandaran untuk melakukan pemberantasan korupsi
melalui jalur pendekatan ajaran agama Islam. Tidak hanya itu, kemudian
dimunculkan fatwa haram korupsi dan mendesak keras melalui gerakan advokasi
untuk segera mneyelesaikan kasus mega korupsi BLBI.
Melihat
kenyataan di atas maka ada baiknya kita ingat kembali analisi dari Jeremy Pope,
yakni terdapat keyakinan bahwa dalam sebuah sistem dimana korupsi telah menjadi
endemik, mekanisme penegakan hukum yang konvesional justru akan menutupi
pejabat-pejabat yang korup. Badan-badan konvensional yang bertindak menegakkan
hukum menjadi semakin tidak mampu untuk mendeteksi dan menuntut kasus-kasus
korupsi yang kompleks.
Sekali
lagi, perlu ditegaskan bahwa pembentukan KPK dengan UU no.30 tahun 2002 tentak
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah angin segar diantara bau
busuk korupsi di negeri mafia korupsi ini. Seperti kita ingat, gebrakan awal KPK
dimulai dengan memroses dan emmenjarakan mantan gubernur NAD Abdullah Puteh
kemudian dilanjutkan dengan gebrakan terhadap Komisi Pemilihan Umum dan
seterusnya diharapkan gebrakan final hingga matinya korupsi di Indonesia. Perlu
direnungksn ucapan Kwik Kian Gie dalam buku berjudul “Pikiran Yang Terkorupsi”
bahwa selama manusianya masih korup, pembentukan lembaga, penentuan prosedur
dan apapun juga selalu dapat diselewengkan dalam pelaksanaannya. Otak, akal,
daya inovasi, dan daya kreasi manusia sangat dahsyat. Mereka senantiasa akan
menemukan cara agar korupsinya sangat sulit dibuktikan.
BUDAYA KORUPSI DI MASA LALU
Korupsi
di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di
era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari
api.
Sejarawan di Indonesia umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren dan Binenland Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sejarawan lebih tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam “budaya korupsi” yang sudah mendarah daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan “perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain” dan banyak menimbulkan tragedi yang teramat dahsyat.
Sejarawan di Indonesia umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren dan Binenland Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sejarawan lebih tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam “budaya korupsi” yang sudah mendarah daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan “perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain” dan banyak menimbulkan tragedi yang teramat dahsyat.
Era Sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah
sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi korupsi” yang
tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita
dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan
perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling
membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa
Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan
lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji
merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap
Belanda dan seterusnya sampai terjadfnya beberapa kali peralihan kekuasaan di
Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.
Umumnya
para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa mereka saling
berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif
ekonomi – memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan – belum
nampak di permukaan “Wajah Sejarah Indonesia”.
Sebenarnya
kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah
karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya
diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan
sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara
(perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah
dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya
oleh Belanda.
Pada
tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah Mataram menjadi dua
kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun
1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu
Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian
Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan
Pakualaman.
Benar
bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal karena faktor
intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan Mataram.
Namun apakah sudah adayang meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing
(Belanda) mampu menjajah Indonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah Nasional?),
lebih karena perilaku elit bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya pribadi
dan keluarga, kurang mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan
“character building”, mengabaikan hukum apalagi demokrasi Terlebih lagi
sebagian besar penduduk di Nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi
atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah diadu domba.
Belanda
memahami betul akar “budaya korup” yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia,
maka melalui politik “Devide et Impera” mereka dengan mudah menaklukkan
Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi
dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak
kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada berakhir, serta “berintegrasi’
seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih
didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil
nyaris “belum mengenal” atau belum memahaminya.
Perilaku
“korup” bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya
orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar “mengkorup” harta-harta
Korpsnya, institusi atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur
dan runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul
Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan dipulangkan ke
negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau diperkirakan termasuk yang
belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan orang Belanda juga
gemar korup.
Dalam
buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris
yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat
sambutan yang “luar biasa” baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa
maupun bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya meliputi
situasi geografi, nama-nama daerah, pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim,
kandungan mineral, flora dan fauna, karakter dan komposisi penduduk, pengaruh
budaya asing dan lain-lain.
Hal
menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa.
Penduduk Jawa digambarkan sangat “nrimo” atau pasrah terhadap keadaan. Namun,
di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak
terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu
keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui.
Hal
rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara
sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau
mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka
atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka
disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran.
Kritik dan saran yang disarnpaikan di muka umum lebih dipandang sebagai
tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu budaya
kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung otoriter. Daiam aspek
ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di
masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus
menuruti apa kata, kemauan atau kehendak “penguasa”.
Budaya
yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan “budaya
korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan “korup” dalam
mengambil “upeti” (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang
(Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem
di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup (walaupun
sedikit) harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.
Alasan
mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang standar, di samping
rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai
contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dn
Kopi. Namun ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda baik
satuan barang, volume dan beratnya, apalagi harganya. Beberapa alasan itulah
yang mendorong atau menye-babkan para pengumpul pajak cenderung berperilaku
“memaksa” rakyat kecil, di pihak lain menambah “beban” kewajiban rakyat
terhadap jenis atau volume komoditi yang harus diserahkan.
Kebiasaan
mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh
Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 – 1942) minus Zaman Inggris (1811 –
1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat
terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam
Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 – 1904) dan lain-lain. Namun, yang lebih
menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang
terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya
kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cuituur Stelsel (CS)” yang secara
harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah
membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun
kenyataannya justru sangat memprihatinkan.
Isi
peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat “manusiawi”
dan sangat “beradab”, namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak
manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya “Sistem Pemaksaan”. Itu
sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia
mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan “Sistem Pembudayaan”
menjadi “Tanam Paksa”.
Seperti
apakah bentuk-bentuk pelang-garan CS tersebut? Beberapa di antaranya adalah
sebagai berikut:
1. Penduduk
diwajibkan menanam 1/5 dari tanah miliknya dengan tanaman yang laku dijual di
pasar internasional (Kopi, Tembakau, Cengkeh, Kina, Tebu dan boleh juga Padi,
bukan seperti sebelumnya yang lebih suka ditanam penduduk yaitu pete, jengkol,
sayur-sayuran, padi dan lain-lain). Namun praktiknya ada yang dipaksa oleh
“Belanda Item” (orang Indonesia yang bekerja untuk Belanda) menjdi 2/5, 4/5 dan
ada yang seluruh lahan ditanami dengan tanaman kesukaan Belanda
2. Tanah
yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya
penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang sering meng-korup belum tentu
Belanda)
3. Penduduk
yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di perkebunan atau perusahaan
Belanda selama umur padi (3,5 bulan). Namun, praktiknya ada yang sampai 1
tahun, 5 tahun, 10 tahun dan bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang
tertangkap karena berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman cambuk
(poenali sanksi).
4. Jika
panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi) maka segala
kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun praktik di lapangan, penduduk tetap
menanggung beban itu yang diperhitungkan pada tahun berikutnya.
5. Jika
terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi kuota, maka
kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Namun praktiknya dimakan oleh
“Belanda Item” atau para pengumpul.
6. Pelaksanaan
CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun pelaksanaannya justru lebih banyak
dilakukan oleh “Belanda Item” yang karakternya kadang-kadang jauh lebih kejam,
bengis dan tidak mengenal kornpromi.
Era Pasca Kemerdekaan
Bagaimana
sejarah “budaya korupsi” khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya “Budaya korupsi”
yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah
diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik
di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.
Titik
tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat
kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit,
sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan
belum bisa ditemukan.
Pada
era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan
Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun ternyata pemerintah
pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia
Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya,
dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni
Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah
satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan
mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat
negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir
tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir
itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha
Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik
Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga
tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda).
Tahun
1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi
kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab
ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas
mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga
ini di kemudian hah dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah
perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap
rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami
hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan
permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara
direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari
atasan.
Dalam
kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat
diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan
untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya
Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor,
“prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain”.
Selang
beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi
yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling
Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh
Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan
korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
Era Orde Baru
Pada
pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden
Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga
segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi
isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya.
Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan
Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun
1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti
komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes
keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina,
Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang
korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa,
akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan
tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ
Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah
membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust,
Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil
temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika
Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi
Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya
melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu
ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan
Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi,
Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus
dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar
memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang
ditiup angin tanpa bekas sama sekali.
Era Reformasi
Jika
pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh
kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen
penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era
pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak
terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total
terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan
konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama
juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali
secara “konkesuen” alias “kelamaan”.
Kemudian,
Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan
berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman,
Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan
ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin
Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk
rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah
Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran
dalam upaya. pemberantasan KKN.
Di
samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak
bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan
bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden,
melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses
tawar-menawar tingkat tinggi.
Proses
pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi
dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung
Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser,
Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik.
Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat
karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.
Di
masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum
semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja
betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan
berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu
Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari
jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang
utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam
upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi
perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi
kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan
wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era
Reformasi.
Pelajaran
apa yang bisa ditarik dari uraian ini? Ternyata upaya untuk memberantas korupsi
tidak semudah memba-likkan tangan. Korupsi bukan hanya menghambat proses
pembangunan negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan
serta pengentasan kemiskinan rakyat. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang
kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintahan rnenjadi faktor
penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum
tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan
keadilan datang dari hati sanubari rakyat.
http://maulanusantara.wordpress.com/2009/12/09/sejarah-korupsi-di-indonesia/
http://formak.or.id/2012/02/20/sejarah-korupsi-dan-hari-anti-korupsi-se-dunia/
http://formak.or.id/2012/02/20/sejarah-korupsi-dan-hari-anti-korupsi-se-dunia/
http://lidya-novita.blogspot.com/2012/07/sejarah-korupsi-nusantara.html
http://ml.scribd.com/doc/89885905/SEJARAH-KORUPSI
www.perpustakaan.depkeu.go.id
Did you know that you can earn money by locking premium pages of your blog / site?
BalasHapusAll you need to do is open an account with AdWorkMedia and embed their content locking tool.